Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Olahraga    Kuliner    Film   
Streaming

Follow Me

Seri Eskavasi Naskah Karya Ulama Nusantara

Foto Rijal Mumazziq Z.
Istimewa
Oleh: Gus Rijal MZ*
 
Dua hari silam, alhamdulillah, kiriman harta karun Islam Nusantara yang selama ini terpendam di Mesir telah saya terima. Terimakasih kepada Mas Sewu Pengalem atas upayanya mencari kembali naskah-naskah karya ulama Nusantara yang pernah diterbitkan di Mesir oleh salah satu penerbit legendaris Kairo, Musthafa Bab el-Halabi. 

Selain Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syaikh Abdurrauf bin Ali Al-Fansuri (Barus, lalu Aceh) yang ditengarai merupakan terjemah dan tafsir al-Qur'an lengkap 30 juz yang pertama kali ditulis ulama Nusantara, saya juga menerima 21 naskah lain, termasuk Kamus Arab-Melayu karya Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi (tidak tampak dalam foto).

Sedangkan 20 naskah yang ada dalam foto ini semuanya merupakan karya ulama Nusantara di masa lampau. Cukup keren juga manakala para ulama kita ini menulis sebagian karyanya menggunakan aksara Arab pegon berbahasa Melayu-Jawi namun diterbitkan di Timur Tengah. Hal ini merupakan salah satu pengakuan akan kapabilitas dan kredibilitas para ulama Nusantara. Berikut ini perincian 20 naskah dengan beragam tema:

1. Shirath al-Mustaqim karya Nur al-Din Muhammad al-Jaylani Ibn Ali bin Hasanji bin Hamid al-Raniri/Fiqh/347 hal/1356 H/1937 M.

2. Hidayah al-Mubtadi’in ila Suluk Maslak al-Muttaqin karya Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Natanagara Jawi Bogor (Yang Bermukim di Negeri Mekah)/Tasawuf/60 hal/1346 H/1928 M

3. Nuzhat al-Ikhwan fi Ta’lim al-Lughah wa Tafsir Ikhtilaf al-Lisan karya Abdullah bin Ismail al-Asyi [Aceh]/Gramatika/48 hal/1349 H/1930 M.

4. Bad’u Khalqi al-Samawati wa al-Ardhi Terjemah Syaikh Nuruddin Ibnu Ali Janji ibn Muhammad Hamid al-Rani As-Syafi'i al-Asyi/Tauhid/48 hal/1348 H/1930 M. [Benarkah ini Syaikh Nuruddin Ar-Raniri?]

5. Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin karya Syaikh Abdusshamad Al-Falimbani/Tasawuf/115 hal/1341 H/1923 M

6. Terjemah Kitab Hikam karya Syaikh Muhammad Shalih bin Umar Semarang (Kiai Soleh nDarat)/Tasawuf/167 hal/1347 H/1929 M.

7. Jam’u Jawami’il Mushannafat: Kompilasi Karya-karya ulama Aceh/Penyunting: Syaikh Ismail bin Abdul Muththalib Al-Asyi/Fiqh & Tasawuf/151 hal/1344 H/1926 M.

8. Qurrah al-‘Ain li-Fardh al-‘Aymin karya Muhammad Zain Al-Jawi Al-Jambi/Fiqh/23 hal/1343 H/1926 M.

9. Aqaid Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah karya Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Natanagara, Bogor, Betawi Yang Bermukim di Mekah/Tauhid/14 hal/1341 H/1923 M.

10. Tamrin al-Shibyan karya Ibn Muhammad Thayib Al-Mas’udi Al-Banjari/Tauhid/16 hal/1348 H/1930 M.

11. Fath al-Rahman fi ‘Aqaid al-Iman Terjemah Syaikh Abd al-Qadir bin Shabir Al-Mandahilin/Tauhid/10 hal/1342 H/1924 M

12. Tuhfah al-Raghibin karya seorang ulama Jawi yang tidak disebutkan namanya/Tauhid/28 hal/1358 H/1939 M.

13. Al-Yawaqit wal Jawahir fi Uqubah Ahl al-Kabair karya Syaikh Muhammad Ali bin Abdurrasyid bin Abdullah Al-Jawi Al-Qadhi As-Sumbawi/Tauhid/55 hal/1354 H/1936 M

14. Ushuluddin karya Muhammad Mukhtar bin Atharid Al-Jawi, Bogor/ Tauhid/8 hal/1340 H/1922 M

15. Kompilasi Miftah al-Jannah: a) Ushul al-Din; b) Ushul Tahqiq pada Ushul al-Din; c) Mauidhah Linnas; d) Kitab Tajwid karya: a) Muhammad Thayyib Ibn Mas’ud Al-Banjari; b) Ulama alim nan wara' yang tidak disebut namanya karena takut riya'; c) Ulama yang tidak disebut namanya karena takut sombong; d) Waliyullah yang tidak disebut namanya karena takut sombong/44 hal/1342 H/1924 M

16. Tamrinul Lisan fi Ma’rifat Tajwid al-Quran Hasan bin Yahya Jambi/Tajwid/43 hal/Tanpa Tahun

17. Miftah al-Din li al-Mubtadi karya Syaikh Muhammad Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi/Tauhid/82 hal/1340 H/1921 M.

18. Kifayat al-Mubtadi-in fi 'Ibadat Rabb al-'Alamin karya Syaikh Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Natanagara, Bogor/ Fiqh/ 128 hal/1373 H/1954 M.

19. Hidayat As-Shibyan fi Ma'rifat al-Islam wa al-Iman karya Abu Abdillah Husain Nashir bin Muhammad Thoyyib al-Mas'udi al-Banjari/ Aqaid/ 35 hal/ 1355 H/ 1936 H.

20. Ad-Durrun Nafis, karya Syaikh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari/ Aqaid/ 40 hal/ 1343 H.

Semoga eskavasi harta karun Islam Nusantara berjalan dengan lancar dan diberi keberkahan.

Reward Tuhan

Mobil Google di dekat Galaxy Mall Surabaya
Oleh: K.H Agus Zainal A*

Mobil milik Mbah Google ini sibuk sekali merekam gambar jalanan Surabaya. Dan tentu dia juga sudah keliling ke kota-kota lainnya, menyimpan gambar dan rute jalan, dalam rangka memberikan petunjuk kepada siapapun untuk menuju ke manapun.

Menunjukkan jalan bagi yang ingin tahu, ingin berangkat, atau apalagi ingin selamat saat tersesat adalah sebuah pilihan amal seseorang. Hebatnya ada yang menjadikan ini sebagai pekerjaannya, sehingga ada atau tidak ada orang tanya, dia selalu mempersiapkan jawabannya.

Tentu saja hasil pekerjaan tersebut sangat menolong. Betapa banyak waktu manusia terbuang sia-sia hanya untuk mencari, menelusuri, atau melacak suatu lokasi.

Hebatnya lagi kita tidak harus membayar si penunjuk jalan itu. Gratis, dia memberikan petunjuk dengan cuma-cuma. Sebuah pilihan langka, sebab memberi tak harap kembali itu adalah konsep sulit dan hanya diamalkan oleh beberapa gelintir orang.

Apalagi yang diberikan adalah barang yang sangat berguna. Maka kemanfaatannya jadi makin berlipat ganda dan itu makin mendudukkan posisi signifikannya di tengah-tengah masyarakat.

Reward Tuhan terhadap manusia yang sangat bermanfaat tentu juga akan sangat luar biasa. Meskipun informasi Google nampak gratis bagi para penggunanya, tapi salah satu orang terkaya sedunia justru adalah pemilik Google.

*Dr. H. Agus Zainal Arifin, S.Kom., M.Kom.
 

Armada Laut Nusantara, Kekuatan Yang Mati Suri

https://www.facebook.com/penerbit.imtiyaz/posts/872329106182060
Kapal Borobudur/ Ilustrasi ( Sumber: pigipugu )
 Oleh: Gus Rijal MZ*

Agar bangsa Arab, Tiongkok dan Eropa tidak "tahu" lokasi sesungguhnya sumber daya alam Cengkeh, Rempah-Rempah, hingga Cendana yang merupakan komoditas unggulan, Raja Majapahit sengaja menjadikan Ujung Galuh (Surabaya) & Tuban sebagai pelabuhan internasional. Aktivitas ekonomi dan transaksi kapital dengan bangsa asing dipusatkan di sini. Puncaknya, Majapahit mendapatkan keuntungan strategis: bea cukai "unlimited" dan monopoli wilayah laut.

Jika ada armada dagang Arab, Tiongkok, dan Eropa berani menuju wilayah timur--karena dapat bocoran lokasi SDA-- maka armada "bajak laut" dari Bali yang bersiaga di perbatasan wilayah Timur akan menggebuk kapal dagang asing dan merampas isinya.

Lalu mengapa armada laut Majapahit, yang semakin tangguh di era kepemimpinan Sang Arya Wira Mandalika Laksamana Mpu Nala, membiarkan bajak laut beroperasi? Maklum, Majapahit sengaja membiarkannya agar hemat tenaga, tak perlu capek-capek mengejar armada asing, toh mereka bakal menjadi santapan laskar laut dari Bali, yang menjadi negara fasal Majapahit. 

Saat Majapahit runtuh, monopoli laut dijalankan Demak, Banten, Cirebon, Aceh, dan Gowa. Tatkala kekuatan armada laut Demak, Banten, dan Cirebon mulai ambrol akibat kebijakan para sultan mengerdilkan armada laut, Kesultanan Aceh dan Gowa semakin menguat.

Setelah terfokus di wikayah tengah, kekuatan laut bergeser ke wilayah barat, tepatnya di Kesultanan Aceh Darussalam. Laksamana Keumala Hayati, wanita pertama yang berjuluk Laksamana alias Admiral (diserap dari istilah Arab, "Amirul Bahr") memimpin angkatan laut dengan gemilang. Dialah yang membunuh Cornelis De Houtmann, orang Belanda yang pertama kali mendarat di Jawa. Di bawah komandonya, angkatan laut Aceh menguasai jalur strategis di selat Malaka. Bajak laut dari Tiongkok keder, tapi bangsa kulit putih mulai merajalela.

Di Timur, Kesultanan Gowa mulai memperlihatkan dominasinya di samudera. Kesultanan ini semakin kuat tatkala dipimpin I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin. Di bawah kepemimpinannya, ia membuka pelabuhan internasional di Makassar, dan berkarib dengan Swedia, Denmark, Inggris, dan Prancis. Bahkan, meriam terbesar yang dinamakan meriam Anak Makassar yang ditempatkan di benteng Somba Opu (kebetulan saya pernah berkunjung di reruntuhan benteng besar ini), adalah meriam made ini Prancis, yang dibawa Kapten De Larssen, perwira angkatan laut Denmark. De Larssen kemudian juga diangkat menjadi instruktur militer, khusus operasional meriam, bagi angkatan laut Gowa. Tujuan Sultan Hasanuddin membuka aliansi dengan negara-negara Eropa di atas di antaranya untuk membendung ekspansi Portugis, Spanyol, dan Belanda yang berebut kepulauan Banda dan Maluku, pusat rempah-rempah.

Armada laut Gowa yang dipimpin Intanrawa Daeng Riujung Karaeng Bontomarannu, bertugas memblokade jalur laut. Ia sangat ditakuti VOC. Bersama pasukannya, ia beberapa kali menenggelamkan kapal dagang dan galleon VOC. Marinir kompeni memberinya julukan Admiral Monte Maranno. Kekuatan armada laut Gowa sesungguhnya bertumpu pada dua aspek: divisi marinir yang dipimpin I Tolok Pareppek dengan kapal perusak-penyerbu dan divisi meriam pimpinan I Satong Kamisi.

Setelah Cornelis Spelmann, kriminal asal Batavia, yang bersekutu dengan Arung Palakka, penguasan Bone, membumihanguskan Benteng Jumpandang (Fort Rotterdam) dan Benteng Somba Opu, Gowa takluk melalui Perjanjian Bongaya, 1669.

Pasca penghancuran Somba Opu, armada laut Gowa kocar-kacir. I Maninrorie, putra bungsu Sultan Hasanuddin, yang menjabat wakil panglima angkatan laut, akhirnya melanjutkan perjuangan di sekitar perairan Makassar dan laut Jawa. VOC menyebutnya "perompak Gowa/Bajak Laut Bugis" akibat keganasannya menenggelamkan puluhan kapal VOC. I Maninrorie inilah yang kemudian bergabung dengan Trunojoyo melawan VOC dan masyhur dengan nama Karaeng Galesong. Beliau gugur di Jawa, dan dimakamkan di Malang (makam bangsawan ksatria ini pernah dirusak orang yang tidak bertanggungjawab beberapa tahun silam).

Selepas era ini, kekuatan laut kerajaan di Nusantara semakin ringkih, melemah, lalu berguguran, hingga kini, entah sampai kapan. Kekuatan armada laut yang mati suri menunggu kedatangan Kapten Jack Sparrow dengan kapal Black Pearl-nya.
---
Wallahu A'lam Bisshawab

Dirgahayu TNI !!!

Oleh: Gus Rijal MZ*

Di berbagai negara, tentara nasionalnya banyak dibentuk oleh penjajah secara resmi. Buku "Tentara Gemblengan Jepang" karya Joyce C. Lebra, di antaranya, mengurai peranan serdadu Jepang di era 1941-1945 dalam membentuk ketentaraan nasional di berbagai negara Asia atas nama solidaritas Asia--meski kenyataannya omong kosong belaka. Di Irak dan Afganistan, hari ini, kita melihat jika serdadu nasional di negara ini juga dilatih dan dipersenjatai oleh penjajahnya, AS, meski kemampuannya masih payah dalam menertibkan keamanan (di Irak, tahun lalu, Tikrit ditinggal tentara nasional Irak yang ketakutan dengan serbuan ISIS. Minggu ini, 7000 tentara nasional Afganistan gagal mempertahankan Provinsi Kunduz yang jatuh ke tangan sekira 1000 orang milisi Taliban). Parah banget kan?

Di Indonesia, TNI adalah jenis tentara yang menciptakan dirinya sendiri, ini ungkapan--kalau nggak salah--dari Jenderal (Purn.) Sajidiman Surjohadiprodjo dalam acara "Mata Najwa" yang mengangkat kajian soal Jenderal Sudirman, beberapa minggu silam. Okelah, bisa diperdebatkan ungkapan di atas. Silahkan. Sampai saat inipun, kata Aiko Kurasawa, dalam "Kuasa Jepang di Jawa", banyak tentara Jepang veteran Perang Dunia II yang menganggap dirinya berjasa dalam pembentukan dan minimal pengukuhan dasar-dasar kemiliteran TNI.

Bicara soal TNI kita, pada dasarnya memang tak bisa dilepaskan dari unsur eks PETA dan eks KNIL. Dua unsur ini yang diam-diam saling bertarung memperebutkan posisi elit ketentaraan, usai kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi dicanangkan Kabinet Hatta tahun 1948, yang secara tidak langsung dianggap menyingkirkan milisi lokal: laskar kiri (Pesindo) dan laskar muslim (Hizbullah dan Sabilillah), hingga milisi kedaerahan. Belum lagi perkara warlord di lapangan yang mengalami disorientasi kemiliteran karena wibawa dan kharisma mereka dipaksa berdasarkan pangkat resmi dari pemerintah, di mana mereka banyak yang turun satu-dua pangkat. 

Tentara eks PETA mulai kehilangan pelindung manakala Jenderal Sudirman berpulang pada 1950. Friksi antara eks PETA dan eks KNIL diam-diam meruncing sejak Hatta menempatkan Nasution, dari Div. Siliwangi, sebagai wakil panglima TNI, usai RERA sebagai pengimbangan kekuatan di tubuh militer.
Tahun 1950-an, TB. Simatupang dan KSAD Kolonel AH. Nasution mulai menggeret tentara ke jalur politik. Konflik terbuka militer vs sipil semakin tampak saat Nasution dan para serdadu mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka, 17 Oktober 1952, sambil menuntut dibubarkannya parlemen. Dominasi AD juga semakin kuat di tubuh angkatan perang.

Pertengahan 1950-an, terjadi friksi di tubuh militer daerah melalui pembentukan Dewan Gajah, Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera serta Dewan Manguni di Sulawesi yang berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Bung Karno menerjunkan pasukan dari Jawa. Selesai.

Tahun 1960-an, Bung Karno semakin berusaha mengontrol kekuatan tiga matra. AL dan AU sudah di tangan BK, kekuatan keduanya juga banyak dilibatkan dalam Operasi Djajawidjaja dan Trikora di Irian Barat. Hanya Nasution yang belum terpegang sempurna. Oleh karena itu, BK melakukan rotasi dengan mengangkat Jenderal Ahmad Yani menggantikan Jenderal AH. Nasution sebagai KSAD. Adapun Nasution diangkat sebagai kepala staf ABRI. Karier Nasution beku karena di posisi ini dia hanya mengurus soal administratif dan tak punya kontrol atas pasukan.

1965, peristiwa G-30-S/PKI pecah. Beberapa jenderal AD menjadi korban. Panglima Kostrad, Brigjend Suharto, menggandeng Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dengan RPKAD-nya menumpas PKI. Pak Harto menggandeng Sarwo yang dipenuhi amarah---karena mentornya, Jend. A Yani jadi korban-- untuk menyikat habis kelompok komunis. Pak Harto memanfaatkan serigala yang marah untuk memburu serigala lain. Belum cukup, di sisi lain, ia menyeret tiga perwira loyalis Bung Karno: M. Yusuf, Gatot Subroto dan Amir Machmud, ke pihaknya. Berhasil. Langkah berikutnya menyingkirkan Menpangad, Jend. Pranoto Reksosamudro, pengganti A. Yani. Padahal, Jenderal Pranoto ini kawan akrab Suharto saat di PETA. 

Konsolidasi internal dijalankan Pak Harto dengan cara melakukan pembersihan Sukarnois di angkatan perang. Ibrahim Adjie dan Hario Kecik termasuk korbannya. Nama baik AU dicoreng dengan dugaan keterlibatan Marsekal Omar Dhani, anak emas Bung Karno, dalam peristiwa G-30-S/PKI. Loyalis Bung Karno di AL seperti panglima KKO (marinir) Jenderal Hartono disingkirkan dengan perlahan. Kemal Idris, pengganti Pak Harto di Kostrad disingkirkan. Sarwo Edhie Wibowo tak luput aksi pembersihan ini dengan mengirimnya sebagai Pangdam Bukit Barisan lalu ke Cenderawasih kemudian di dutabesarkan. Jenderal HR. Dharsono di Siliwangi giliran berikutnya. Duta Besar adalah jabatan buangan di zaman ini.
Seera dengan itu, Pak Harto menggerakkan jaringan teman-temannya sesama bekas PETA menjadi pejabat di pilar Orde Baru, yaitu ABG (ABRI, Birokraso dan Golkar). Bahkan, Bardosono, tukang semir sepatu Pak Harto saat di PETA ia tempatkan sebagai ketua PSSI pertengahan 1970-an. Tak heran jika kata David Jenkins dalam "Suharto di Bawah Militerisme Jepang, Pak Harto lebih mempercayai efektifitas jaringan relasional daripada kemampuan seseorang.

Usai mengkonsolidasikan AD, Pak Harto melakukan pembersihan politik, 1973, dengan fusi parpol. Golkar berjaya sejak itu. Dalam sejarah Orba, Pak Harto menganakemaskan AD, Kostrad, Kodam V Brawijaya, Kodam Jaya dan Kodam Diponegoro. Semua KSAD dan Panglima ABRI lewat jalur empuk itu. Dalam sejarah Orba, hanya dua orang penjilat non AD yang bisa masuk ke lingkaran elit Pak Harto. Dari AL ada Laksamana (Purn) Sudomo yang menjadi Pangkopkamtib (lembaga teror Orba), sedangkan dari AU diwakili Marsekal Madya (purn.) Ginandjar Kartasasmita yang awet jadi menteri berbagai kabinet.

Ketika Pak Harto berkuasa, AL dan AU dibiarkan merana. Terjadi banyak kanibalisme alutsista di dua angkatan ini. Kesejahteraan prajurit juga mengenaskan. Kita bersyukur, di era reformasi anggaran militer naik meski kenaikannya selambat bekicot dan masih kalah dibandingkan anggaran militer negara lain di asia tenggara. 

Dirgahayu TNI

----
WAllahu A'lam Bisshawab.
----
Mohon koreksian bila ada kesalahan.

Memilih Siapa, Sebelum Membahas Apa

Oleh: Gus Rijal MZ*

Para ksatria zaman dulu hanya mau memakai senjata bikinan empu tertentu. Banyak pandai besi bertebaran namun hanya ada sedikit dari mereka yang istimewa: produknya dibikin terbatas, kualitas terjaga baik, dibuat dengan bahan spesial, disertai dengan sentuhan ruhani pembuatnya, biasanya dengan laku tirakat. Hasilnya luar biasa. Para ksatria rela antre menggunakan produk bikinan para pandai besi terpilih itu. 

Dalam dunia lukis juga sama. Ada pelukis masterpiece: jumlah produknya terbatas namun kualitas di atas rata-rata. Cerita di balik pembuatannya juga mengiringi penilaian para kurator dan kolektor terhadapnya. Hasilnya, beberapa kolektor papan atas hanya memburu karya-karya pelukis tertentu yang memiliki sentuhan kuas yang kuat, berkarakter, dan khas. Dari banyak pelukis, hanya beberapa saja yang sangat spesial.

Soal ini rupanya juga menular dalam karya akademis dan soal pilihan citarasa intelektual-ruhani. Dari banyak penulis, hanya beberapa saja yang meninggalkan kesan kuat di mata pembaca. Bukan semata karya tersebut enak dinikmati, lebih dari itu banyak orang jatuh cinta terhadap penulisnya dan lelaku ruhani di balik pembuatan karyanya. 

Di tanah air, kitab yang menjadi kegemaran para ulama di antaranya adalah Ihya Ulumiddin. Imam al-Ghazali telah menjadi purwarupa dan cetakbiru lelaku para ulama kita. Ada juga kitab al-Hikam nya Imam Ibnu Athaillah. Ketertarikan beliau-beliau mengkaji dua kitab ini adalah di antaranya karena ketinggian ruhani muallifnya. Dalam hal tafsir juga demikian. Banyak pesantren yang memilih mengaji Tafsir Jalalain, karena selain mudah dipahami, juga untuk ta'lim-tabarruk terhadap ketinggian derajat ruhani Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Di sini, bukan perkara meninggikan satu-dua penulis lalu merendahkan derajat penulis lainnya. Melainkan karena ada unsur-unsur yang lebih magnetik yang bisa mendekatkan emosional seseorang dengan penulis tertentu sekaligus mengikat ruhani dengannya, misalnya pengamal Tarekat Syadziliyah dengan kitab al-Hikam.

Singkat kata, sebagaimana proses pemilihan senjata zaman dulu, pilihan akademis maupun ruhani sepanjang zaman dilakukan dengan pertimbangan matang di antaranya dengan melihat siapa penulisnya. Ini juga yang dilakukan guru saya dulu manakala mengajar Risalah Mu'awanah dan Nashoihud Diniyah. Beliau mewajibkan kami semua dalam kondisi suci saat ngaji dua kitab tersebut agar keberkahan menaungi majelis kami. "Kita belajar dan tabarrukan dengan kemuliaan derajat dan ketinggian ilmu Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad." kata beliau. Tak lupa mengajak kami melantunkan fatihah untuk beliau, disusul dengan Ratibul Haddad sebelum ngaji dan Wirdul Lathif--dua gubahan Imam Al-Haddad--usai ngaji yang saya ikuti sambil terkantuk-kantuk itu (haha).

Dan, sebagaimana pilihan guru saja di atas, saya yakin banyak orang yang melakukan hal demikian: memilih "siapa" terlebih dulu, sebelum membahas "apa".

WAllahu A'lam Bisshawab

Menghias Makam Ulama Menurut Ulama Syafiiyah

Oleh: Ustadz Ma'ruf Khozin*

Menurut ulama Syafiiyah, keharaman menutup makam para ulama adalah jika menggunakan kain sutra. Dan jika ditutup dengan selain sutra, maka ada yang menghukumi makruh dan ada yang memperbolehkan.

- Syaikh Zakariya: “Haram Menghias Makam Ulama Dengan Kain Sutra”
قَوْلُهُ وَيَجُوزُ سَتْرُ الْكَعْبَةِ بِالدِّيبَاجِ ) أَمَّا مَشَاهِدُ الْأَنْبِيَاءِ فَيَنْبَغِي الْجَزْمُ فِيهَا بِالْجَوَازِ كَالْكَعْبَةِ بَسِيطٌ قَالَ شَيْخُنَا لَكِنْ سُئِلَ الشَّارِحُ عَنْ سَتْرِ تَوَابِيتِ الْأَوْلِيَاءِ بِالسُّتُورِ الْحَرِيرِ الْمُزَرْكَشَةِ وَغَيْرِهَا هَلْ هُوَ جَائِزٌ لِإِظْهَارِ تَوَابِيتِهِمْ بِهِ فَيَتَبَرَّكُ بِهِمْ أَوْ يُتْلَى كِتَابُ اللَّهِ عِنْدَهُمْ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ يَحْرُمُ لِبَاسُ تَوَابِيتِ الْأَوْلِيَاءِ الْحَرِيرِ وَإِظْهَارُهَا يَحْصُلُ بِدُونِ ذَلِكَ وَلَا رَيْبَ أَنَّ تَرْكَ إلْبَاسِهَا إيَّاهُ أَحَبُّ إلَيْهِمْ فَإِنَّهُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوا يَتَنَزَّهُونَ عَنْ اسْتِعْمَالِهِ فِي ذَوَاتِهِمْ الشَّرِيفَةِ فَلَأَنْ يُنَزَّهُوا عَنْ أَنْ تُعْمَلَ عَلَى قُبُورِهِمْ أَوْلَى وَمَنْ قَالَ بِجَوَازِ ذَلِكَ قَالَ وَالْأَوْلَى بِالسُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ تَرْكُهُ . اهـ أسنى المطالب - (ج 5 / ص 106)
“(Boleh menutup ka’bah dengan sutra) Sedankan maka para Nabi maka diperbolehkan, seperti ka’bah. Guru kami berkata bahwa Penyarah kitab (Syaikh Zakariya) ditanya tentang menutup makam para wali dengan kain sutra dan lainnya, apakah boleh untuk memperlihatkan makamnya, kemudian diziarahi untuk mencari berkah (dari Allah) atau dibaca al-Quran di dekatnya? Beliau menjawab: “Haram menutupi makam para wali dengan sutra. Untuk menampakkan makam beliau bisa ditempuh dengan cara yang lainnya. Tidak diragukan lagi, bahwa tidak menghias makam tersebut akan lebih dicintai oleh mereka, sebab mereka menjauhkan diri untuk tidak memakai sutra di tubuh mereka (saat hidup). Maka menjauhkan makam mereka dari sutra tentu lebih utama. Dan ulama yang memperbolehkannya (pun) mengatakan: “Yang lebih utama berdasarkan hadis yang suci, adalah tidak melakukannya” (Hamisy Asna al-Mathalib)

- Syaikh al-Syarwani: “Makruh Menghias Makam Ulama Dengan Selain Sutra”
وَيُكْرَهُ تَزْيِينُ الْبُيُوتِ لِلرِّجَالِ وَغَيْرِهِمْ حَتَّى مَشَاهِدِ الْعُلَمَاءِ وَالصُّلَحَاءِ أَيْ مَحَلِّ دَفْنِهِمْ بِالثِّيَابِ أَيْ غَيْرِ الْحَرِيرِ ، وَيَحْرُمُ تَزْيِينُهَا بِالْحَرِيرِ وَالصُّوَرِ ، نَعَمْ يَجُوزُ سَتْرُ الْكَعْبَةِ بِهِ تَعْظِيمًا لَهَا وَالْأَوْجَهُ جَوَازُ سَتْرِ قَبْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ بِهِ كَمَا جَزَمَ بِهِ الْأُشْمُونِيُّ فِي بَسِيطِهِ جَرْيًا عَلَى الْعَادَةِ الْمُسْتَمِرَّةِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ا هـ حواشي الشرواني - (ج 3 / ص 21)
“Makruh menghias rumah bagi orang laki-laki dan lainnya, hingga makam-makam ulama dan orang saleh dengan kain selain sutra. Jika dengan sutra dan gambar, maka haram. Namun boleh menutup ka’bah dengan sutra untuk mengagungkannya. Menurut pendapat yang kuat boleh menutup makam Rasulullah dan Nabi lainnya dengan sutra, sebagaimana ditegaskan oleh al-Asymuni dalam kitabnya al-Basith, berdasarkan kebiasaan yang telah berlangsung tanpa ada pengingkaran” (al-Syarwani, 3/21)

- Ibnu Abdissalam: “Boleh Menghias Makam Ulama Dengan Selain Sutra”
وَلَيْسَ مِثْلُهُ أَيْ : الْمَسْجِدِ مَشَاهِدَ الْعُلَمَاءِ ، وَالصُّلَحَاءِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ ، وَمَرَّ حُرْمَةُ كِسْوَتِهَا بِالْحَرِيرِ ، وَأَمَّا بِغَيْرِهِ فَهُوَ مُبَاحٌ اهـ حواشي الشرواني - (ج 10 / ص 100)
“Makam-makam ulama dan orang saleh tidak sama dengan masjid, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdissalam. Dan telah dijelaskan keharaman menutup makam dengan kain sutra. Jika dengan selain kain sutra maka boleh” (al-Syarwani, 10/100)

Antara Gagasan dan Kenaifan Berfikir

 
Oleh: Gus Rijal MZ*

Kalau debat soal Islam Nusantara, jelas nggak bakal selesai, apalagi soal istilah-makna maupun asumsi-asumsi negatif soal shalat bahasa Jawa, kain kafan batik, dan kecurigaan menggelikan lainnya, yang entah berasal dari mana. Pengusung gagasan Islam Nusantara sudah banyak menjelaskan soal ini baik melalui artikel dan ada juga beberapa buku yang mendukung ide Islam Nusantara. Penjelasannya sudah bagus. Kalaupun ada yang tidak setuju, ya wajar saja, wong namanya juga gagasan. Tapi kalau ketidaksetujuan itu dilatarbelakangi semata-mata hanya mau mendengar pendapat dan pemahamannya sendiri, nah itu kayaknya ada kenaifan berpikir deh. 

Enteng saja, saya mendukung gagasan Islam Nusantara, dan bagi panjenengan yang tidak setuju, silahkan, tapi jangan memaksakan ketidaksetujuan itu di sini, di lapak saya. Sesederhana itu. 

Soal apa itu Islam Nusantara, beberapa pihak sudah menjelaskan. Namanya juga istilah, pasti memantik pro kontra karena setiap kepala punya konsepsi yang berbeda terhadap satu obyek yang sama. Sebagaimana saya bertanya, apa itu konsep Tiki-Taka? Penjelasan saya bisa berbeda dengan penjelasan Pep Guardiola, berbeda pula dengan pemahaman panjenengan, mungkin juga tak sama dengan pengamatan para Boixos Nois di tribun Nou Camp sana. Tapi, ehm, kita sama-sama menikmati betapa konsepsi Tiki-Taka ini diaplikasikan dengan indah di lapangan hijau dan hasilnya juga lebih dari selusin tropi di zaman Guardiola. Mungkin kita beda definisi tapi kita bisa menikmatinya. 

Demikian juga soal Islam Nusantara. Kita bisa merasakan dan melihat berbagai praktik kaum muslimin dalam bidang politik, sosial, budaya, yang mendampingi dinamika zaman. Cetak birunya ada di zaman walisongo lalu dilanjutkan oleh banyak ulama di berbagai titik daerah di Nusantara. Di bidang fiqh, Madzhab Syafi'i menjadi madzhab populer, di bidang aqidah menganut Asy'ariyah-Maturidiyah, dan dalam soal tasawuf lebih bercorak tasawuf akhlaqi Sunni dari jalur Imam al-Ghazali maupun tarekat mu'tabarah, meskipun corak falsafi pernah ada lalu kalah dominan. Ini belum bicara soal corak seni ukir, arsitektur rumah-mesjid, planologi, hingga astronomi, teknologi dan pelbagai pengetahuan yang lahir dari rahim kaum muslim nusantara. 

Apakah Islam Nusantara anti-Arab? Duh Gusti, bagaimana bisa kita menafikan peranan Arab, lha wong pengaruh Arab sudah sangat melekat, dari sumbangan kosakata, seni dll. Belum lagi jaringan ulama Nusantara juga berporos ke Arab. Perlu bukti lain? Muslim di sekujur Nusantara adalah orang-orang yang senantiasa menghormati alawiyin dan mencintai kakek buyutnya. 

Dalam pemahaman saya, Islam Nusantara sebagai sebuah gerakan lebih bercorak inward looking, melihat ke dalam diri beserta potensi yang dimiliki. Kita punya basis pemahaman yang baik soal resolusi konflik, misalnya, ini yang kita perkuat. Karena itu beberapa forum pertemuan ulama dunia di gelar di Indonesia. Beberapa ulama Afganistan yang capek perang ingin damai akhirnya belajar ke Indonesia soal Pancasila dll. Bukankah ini potensi?

Potensi lain yang digali adalah karakteristik keilmuan para ulama Nusantara. Ini ada pada kebajikan dan kebijakan mereka yang beredar melalui kisah-tutur dan folklore juga melalui karya-karya tulis mereka, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa lokal. Ini bisa dijadikan pijakan karakter. Contoh kecil, ngaji kitab tafsir ulama nusantara. Nah, jelas pengajian ini tidak menafikan karya mufassir lain. Saling menopang. Jika masih belum cukup, banyak karya ulama lain. Intinya ada apresiasi keilmuan terhadap karya ulama kita.

Masih kurang? Ada Serat Centhini. Ini karya bagus yang dianggap kejawen (!) dan parahnya hanya dimaknai sebagai teks yang menyajikan erotisme belaka (asem tenan!). Kitab lain seabrek dengan berbagai ragam bahasa dengan pelbagai bahasan keilmuan. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Lha kok kayak kampanyenya Om Prabowo?). 

Ya, harus kita, kalau bukan kita niscaya kalimat menohok yang diucapkan Peter Carey, penyusun buku biografi Pangeran Diponegoro, akan terngiang kembali, "Di antara anda sekalian, mungkin tidak ada yang pernah membaca apa itu Babad Diponegoro. Dari sinilah awal sebuah akhir,” kata Carey dalam sebuah bedah buku.

WAllahu A'lam

Yang Arab di Jawa

 Oleh: Muhammad Yaser Arafat*

Ada banyak tanggapan terhadap pada tilawah jawi atau pembacaan al-Quran langgam Jawa sejak ia menghebohkan masyarakat dunia beberapa waktu lalu. Di antaranya berbunyi tuduhan bahwa tilawah jawi merupakan penolakan pada “yang arab”. Dalam beberapa pertemuan, beberapa pihak telah menanyakan hal itu pada saya. Mereka dilanda kekhawatiran tentang adanya upaya untuk membuang dan membenci “yang arab” dari al-Quran, dan dengan demikian, lahir pula ketakutan pada muslihat untuk mengenyahkan “yang arab” dari Islam. Bahkan, di youtube, seorang habib populer di Jawa - entah telah bertabayyun dengan siapa- menyebut tilawah jawi sebagai kelakuan bervolume kebencian pada “yang arab”. Sungguh saya sangat menyesalkannya.

Terus terang, tuduhan-tuduhan tersebut membuat saya harus membeberkan fakta sejarah tentang perlakuan apik kawula jawi pada “yang arab”. Tapi, sebelum itu, perlu kiranya dipertanyakan; apakah Arab itu Islam, dan dengan demikian, Bahasa Arab berarti bahasa Islam? Tentu saja tidak. Islam ya Islam. Bahasa Islam ya bahasa apa saja yang mencirikan rahmat bagi semesta alam. Arab adalah bangsa. Sama seperti Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, dan semisalnya. Hanya saja, memang, Bahasa Arab identik dengan Islam. Soalnya Islam memang diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab.

Keidentikan ini sulit dibantah. Kata guru saya, Pak Damami, Arab dan Islam itu bagaikan fonem dan morfem. Fonem adalah suara yang muncul saat mengucapkan huruf/morfem. Huruf “K”, kalau diucapkan, begitulah bunyinya. Memang pengandaian itu jauh dari ketepatan. Tapi boleh juga ia dikelola untuk mendekatkan pemahaman. Kiranya dari keidentikan itu pula, banyak manusia dari suatu suku-bangsa, terutama dalam guliran peradaban modern di Indonesia, yang melisankan kata-istilah dari Bahasa Arab ke dalam mode percakapan sehari-hari, terutama yang sepotong-sepotong seperti; ana, antum, akhi, ukhti, ‘afwan, syukron, jazakallah, umi, abi, ustadz, syekh, mu’allim, dan sebagainya.

Akan tetapi, karena “yang arab” belum tentu “yang Islam” sekaligus belum tentu “yang Jawa”, maka penerimaan pada Islam di Jawa tidak serta-merta penerimaan pada “yang arab”. Benar bahwa dalam banyak hal, “yang arab” betul-betul diterima di Jawa. Akan tetapi, yang diterima itu bukan semata-mata “yang arab”, melainkan “yang arab” sebagai percikan Islam. Di bawah ini akan saya paparkan bagaimana “yang arab” itu diterima di Jawa dengan berbagai macam cara dalam berbahasa, bersimbol, dan berkonsep. Intinya, saya hanya hendak mengatakan; kurang arab apa Jawa itu?

***
Ya! Kurang Arab apa Jawa itu? Ada banyak kata-kata Bahasa Arab yang diserap oleh Jawa. Itu menandakan bahwa alam pikiran Jawa juga sejak jauh malam telah bersekepala dengan “yang arab” dari Islam.  Beko”, kata yang biasa dipakai untuk pekerjaan “menangis” bagi anak-anak/bayi, itu dari Bahasa Arab “baka-yabki-buka’”. “Kayu”, juga dari Bahasa Arab; “hayyu”, artinya sesuatu yang hidup. Ungkapan minta maaf, “ngapunten”, itupun dari Bahasa Arab; “’afwun/’afwan”. Hanya karena ada intensi penghalusan, maka ditambahlah akhiran “nten”, dan hanya karena ada gambaran “perbuatan meminta”, maka ditambah pula awalan “nga”. Boleh dibilang, gejala mendadak arab yang biasanya tercermin dari kata-kata “’afwan, akhi, ukhti” sebenarnya bukan hal baru. Kalau kata-kata itu diucapkan lantaran anggapan bahwa bahasa setempat tidak islami, semoga itu bukan isyarat bahwa pengucapnya menderita wabah kelumpuhan pengetahuan mengenai asal-usul diri.

Untuk menyebut seorang guru ilmu kehidupan –yang juga dapat disebut “guru ma’rifat”, orang Arab memakai istilah: “as-Syaikh al-Akbar”, seperti gelar Ibnu Arabi, sufi besar dari Spanyol. Nah, orang-orang bertipe guru ma’rifat tersebut, di Jawa juga bergelar sama. Akan tetapi gelar “as-Syaikh al-Akbar” itu diterjemahkan menjadi “kyai/ki ageng”. Misalnya Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Giring, Ki Ageng Selo.

Jika orang Jawa menanyakan kabar; “pripun kabare? (bagaimana kabarnya?)”, biasanya orang yang ditanya akan menjawab: “sahe/sae (baik)”. Sahe/sae itu dari Bahasa Arab: “sahih/soheh”. Pohon-pohon peneduh di pinggiran jalan, oleh orang Jawa disebut pohon “gayam”.  Asalnya dari kata “khayyam/Qayyam”, yang artinya “sesuatu yang menaungi”. Dalam kosakata sufisme Jawa, nanti istilah tasawuf semacam “Ruh Idlofi”, akan dieja menjadi “Ruh Ilafi”. Sebagaimana “fadhilah” akan diucapkan menjadi “palilah”, “mudharat” diucapkan menjadi “melarat”, “alhamdulillah” untuk menyebut sesuatu yang dianggap kebetulan akan dieja menjadi “ndilalah”.

Pada tahun 2012, saya meneliti hal ini di daerah Yogyakarta-Jawa Tengah. Saya menemukan satu contoh mengenai perlakuan pada “yang arab” ini dalam tradisi penyuguhan kopi atau teh tubruk untuk setiap tamu. Bila ditelisik, kata “tubruk” merupakan pengalih-bahasaan kata arab; “tabarruk”. Tabarruk artinya upaya mendapatkan banyak berkah. Dalam Islam, sebagaimana tercermin dalam berbagai sabda Nabi Muhammad SAW, tamu diakidahi sebagai penggendong berkah. Karena itu keinginan untuk mengalap berkah sang tamu, oleh sang tuan rumah disimbolkan dalam bentuk suguhan teh atau kopi tabarruk, yang pengucapannya telah dialih-ubah menjadi teh atau kopi tubruk.

Contoh lainnya adalah kue; ketan, kolak, apem. Di Jawa, tritunggal materi goyang lidah itu biasa disuguhkan di acara slametan atau disaling-tukarkan pada saat acara nyadran, yaitu semacam acara berkirim doa untuk arwah para pendahulu yang biasanya dihelat di bulan Ruwah (Sya’ban). Istilah ketan, kolak, apem sendiri diambil dari kosakata Islam yang juga bersumber dari Bahasa Arab. Ketan dari kata khothoan, yang artinya kesalahan. Kolak dari kata qola/qowlan yang berarti berkata/perkataan. Apem dari kata’afwun, yang berarti permohonan maaf. Ketika dihidangkan atau disaling-tukarkan, ketan, kolak, apem sebenarnya sedang ditunjuk untuk menjadi juru bicara permohonan maaf atas kekhilafan dan kesalahan masing-masing pihak.

Pernah mendengar istilah “kebogiro”? Itu adalah sebutan dentang musik yang dimainkan untuk mengiringi pertemuan sepasang pengantin. Asalnya dari kata “hubbu” dan “ghirah”. Kebogiro merupakan pelisanan atas kata hubb dan ghirah, yang artinya; cinta dan hasrat. Dengan mengadakan ritual pemertemuan pengantin lelaki dan perempuan, orang Jawa ingin menegaskan; bahwa sebenarnya yang dipertemukan di sana adalah cinta dan gairah. Nantinya, pernikahan dan proses pasca-nikah seperti pertunggalan fisik (jima’/persetubuhan) lelaki dan perempuan yang telah resmi menjadi suami-istri, di Jawa disebut; “lakirabi”. Lakirabi pun, berasal dari Bahasa Arab; “liqoi robbi” (berjumpa dengan Tuhan).
***

Tentu masih banyak contoh-contoh lain tentang bagaimana “yang arab” dipergauli oleh orang Jawa di sini. Bila disebutkan satu-persatu, jumlahnya akan mencapai jutaan. Ini belum terhitung nama-nama tempat berciri arabik seperti; ngaliyan, paliyan, sodo, bolawen, laweyan, sayidan, kamdanen, dan masih banyak lagi. Lha itu, kitab primbon saja, oleh orang Jawa disebut “Betal Jemur”, yang merupakan pengucapan Jawa dari istilah: “bait al-jumhur”, yang berarti bahwa Kitab Primbon adalah kitab karya bersama yang dihasilkan dari laku permusyawaratan para ulama (jumhurul ‘ulama) di Jawa.

Terus, kurang arab apa Jawa itu? Gini kok katanya anti arab atau penuh kebencian pada Arab. Mikiro sitik! Wallahu a’lam.

Pelantun tilawah jawi di Istana Negara Republik Indonesia

 
Copyright © 2015 CahNgroto.NET. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger