Oleh: Gus Rijal MZ*
Para
ksatria zaman dulu hanya mau memakai senjata bikinan empu tertentu.
Banyak pandai besi bertebaran namun hanya ada sedikit dari mereka yang
istimewa: produknya dibikin terbatas, kualitas terjaga baik, dibuat
dengan bahan spesial, disertai dengan sentuhan ruhani pembuatnya,
biasanya dengan laku tirakat. Hasilnya luar biasa. Para ksatria rela
antre menggunakan produk bikinan para pandai besi terpilih itu.
Dalam dunia lukis juga sama. Ada pelukis masterpiece: jumlah produknya
terbatas namun kualitas di atas rata-rata. Cerita di balik pembuatannya
juga mengiringi penilaian para kurator dan kolektor terhadapnya.
Hasilnya, beberapa kolektor papan atas hanya memburu karya-karya pelukis
tertentu yang memiliki sentuhan kuas yang kuat, berkarakter, dan khas.
Dari banyak pelukis, hanya beberapa saja yang sangat spesial.
Soal ini rupanya juga menular dalam karya akademis dan soal pilihan
citarasa intelektual-ruhani. Dari banyak penulis, hanya beberapa saja
yang meninggalkan kesan kuat di mata pembaca. Bukan semata karya
tersebut enak dinikmati, lebih dari itu banyak orang jatuh cinta
terhadap penulisnya dan lelaku ruhani di balik pembuatan karyanya.
Di
tanah air, kitab yang menjadi kegemaran para ulama di antaranya adalah
Ihya Ulumiddin. Imam al-Ghazali telah menjadi purwarupa dan cetakbiru
lelaku para ulama kita. Ada juga kitab al-Hikam nya Imam Ibnu Athaillah.
Ketertarikan beliau-beliau mengkaji dua kitab ini adalah di antaranya
karena ketinggian ruhani muallifnya. Dalam hal tafsir juga demikian.
Banyak pesantren yang memilih mengaji Tafsir Jalalain, karena selain
mudah dipahami, juga untuk ta'lim-tabarruk terhadap ketinggian derajat
ruhani Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Di
sini, bukan perkara meninggikan satu-dua penulis lalu merendahkan
derajat penulis lainnya. Melainkan karena ada unsur-unsur yang lebih
magnetik yang bisa mendekatkan emosional seseorang dengan penulis
tertentu sekaligus mengikat ruhani dengannya, misalnya pengamal Tarekat
Syadziliyah dengan kitab al-Hikam.
Singkat kata, sebagaimana
proses pemilihan senjata zaman dulu, pilihan akademis maupun ruhani
sepanjang zaman dilakukan dengan pertimbangan matang di antaranya dengan
melihat siapa penulisnya. Ini juga yang dilakukan guru saya dulu
manakala mengajar Risalah Mu'awanah dan Nashoihud Diniyah. Beliau
mewajibkan kami semua dalam kondisi suci saat ngaji dua kitab tersebut
agar keberkahan menaungi majelis kami. "Kita belajar dan tabarrukan
dengan kemuliaan derajat dan ketinggian ilmu Sayyid Abdullah bin Alawi
Al-Haddad." kata beliau. Tak lupa mengajak kami melantunkan fatihah
untuk beliau, disusul dengan Ratibul Haddad sebelum ngaji dan Wirdul
Lathif--dua gubahan Imam Al-Haddad--usai ngaji yang saya ikuti sambil
terkantuk-kantuk itu (haha).
Dan, sebagaimana pilihan guru saja
di atas, saya yakin banyak orang yang melakukan hal demikian: memilih
"siapa" terlebih dulu, sebelum membahas "apa".
WAllahu A'lam Bisshawab
Post a Comment