Oleh: Gus Rijal MZ*
Di berbagai negara, tentara nasionalnya banyak dibentuk oleh penjajah
secara resmi. Buku "Tentara Gemblengan Jepang" karya Joyce C. Lebra, di
antaranya, mengurai peranan serdadu Jepang di era 1941-1945 dalam
membentuk ketentaraan nasional di berbagai negara Asia atas nama
solidaritas Asia--meski kenyataannya omong kosong belaka. Di Irak dan
Afganistan, hari ini, kita melihat jika serdadu nasional di negara ini
juga dilatih dan dipersenjatai oleh penjajahnya, AS, meski kemampuannya
masih payah dalam menertibkan keamanan (di Irak, tahun lalu, Tikrit
ditinggal tentara nasional Irak yang ketakutan dengan serbuan ISIS.
Minggu ini, 7000 tentara nasional Afganistan gagal mempertahankan
Provinsi Kunduz yang jatuh ke tangan sekira 1000 orang milisi Taliban).
Parah banget kan?
Di Indonesia, TNI adalah jenis tentara yang
menciptakan dirinya sendiri, ini ungkapan--kalau nggak salah--dari
Jenderal (Purn.) Sajidiman Surjohadiprodjo dalam acara "Mata Najwa" yang
mengangkat kajian soal Jenderal Sudirman, beberapa minggu silam.
Okelah, bisa diperdebatkan ungkapan di atas. Silahkan. Sampai saat
inipun, kata Aiko Kurasawa, dalam "Kuasa Jepang di Jawa", banyak tentara
Jepang veteran Perang Dunia II yang menganggap dirinya berjasa dalam
pembentukan dan minimal pengukuhan dasar-dasar kemiliteran TNI.
Bicara soal TNI kita, pada dasarnya memang tak bisa dilepaskan dari
unsur eks PETA dan eks KNIL. Dua unsur ini yang diam-diam saling
bertarung memperebutkan posisi elit ketentaraan, usai kebijakan
Reorganisasi dan Rasionalisasi dicanangkan Kabinet Hatta tahun 1948,
yang secara tidak langsung dianggap menyingkirkan milisi lokal: laskar
kiri (Pesindo) dan laskar muslim (Hizbullah dan Sabilillah), hingga
milisi kedaerahan. Belum lagi perkara warlord di lapangan yang mengalami
disorientasi kemiliteran karena wibawa dan kharisma mereka dipaksa
berdasarkan pangkat resmi dari pemerintah, di mana mereka banyak yang
turun satu-dua pangkat.
Tentara eks PETA mulai kehilangan
pelindung manakala Jenderal Sudirman berpulang pada 1950. Friksi antara
eks PETA dan eks KNIL diam-diam meruncing sejak Hatta menempatkan
Nasution, dari Div. Siliwangi, sebagai wakil panglima TNI, usai RERA
sebagai pengimbangan kekuatan di tubuh militer.
Tahun 1950-an,
TB. Simatupang dan KSAD Kolonel AH. Nasution mulai menggeret tentara ke
jalur politik. Konflik terbuka militer vs sipil semakin tampak saat
Nasution dan para serdadu mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka,
17 Oktober 1952, sambil menuntut dibubarkannya parlemen. Dominasi AD
juga semakin kuat di tubuh angkatan perang.
Pertengahan 1950-an,
terjadi friksi di tubuh militer daerah melalui pembentukan Dewan Gajah,
Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera serta Dewan Manguni di
Sulawesi yang berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Bung Karno
menerjunkan pasukan dari Jawa. Selesai.
Tahun 1960-an, Bung Karno
semakin berusaha mengontrol kekuatan tiga matra. AL dan AU sudah di
tangan BK, kekuatan keduanya juga banyak dilibatkan dalam Operasi
Djajawidjaja dan Trikora di Irian Barat. Hanya Nasution yang belum
terpegang sempurna. Oleh karena itu, BK melakukan rotasi dengan
mengangkat Jenderal Ahmad Yani menggantikan Jenderal AH. Nasution
sebagai KSAD. Adapun Nasution diangkat sebagai kepala staf ABRI. Karier
Nasution beku karena di posisi ini dia hanya mengurus soal administratif
dan tak punya kontrol atas pasukan.
1965, peristiwa G-30-S/PKI
pecah. Beberapa jenderal AD menjadi korban. Panglima Kostrad, Brigjend
Suharto, menggandeng Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dengan RPKAD-nya menumpas
PKI. Pak Harto menggandeng Sarwo yang dipenuhi amarah---karena
mentornya, Jend. A Yani jadi korban-- untuk menyikat habis kelompok
komunis. Pak Harto memanfaatkan serigala yang marah untuk memburu
serigala lain. Belum cukup, di sisi lain, ia menyeret tiga perwira
loyalis Bung Karno: M. Yusuf, Gatot Subroto dan Amir Machmud, ke
pihaknya. Berhasil. Langkah berikutnya menyingkirkan Menpangad, Jend.
Pranoto Reksosamudro, pengganti A. Yani. Padahal, Jenderal Pranoto ini
kawan akrab Suharto saat di PETA.
Konsolidasi internal
dijalankan Pak Harto dengan cara melakukan pembersihan Sukarnois di
angkatan perang. Ibrahim Adjie dan Hario Kecik termasuk korbannya. Nama
baik AU dicoreng dengan dugaan keterlibatan Marsekal Omar Dhani, anak
emas Bung Karno, dalam peristiwa G-30-S/PKI. Loyalis Bung Karno di AL
seperti panglima KKO (marinir) Jenderal Hartono disingkirkan dengan
perlahan. Kemal Idris, pengganti Pak Harto di Kostrad disingkirkan.
Sarwo Edhie Wibowo tak luput aksi pembersihan ini dengan mengirimnya
sebagai Pangdam Bukit Barisan lalu ke Cenderawasih kemudian di
dutabesarkan. Jenderal HR. Dharsono di Siliwangi giliran berikutnya.
Duta Besar adalah jabatan buangan di zaman ini.
Seera dengan itu,
Pak Harto menggerakkan jaringan teman-temannya sesama bekas PETA
menjadi pejabat di pilar Orde Baru, yaitu ABG (ABRI, Birokraso dan
Golkar). Bahkan, Bardosono, tukang semir sepatu Pak Harto saat di PETA
ia tempatkan sebagai ketua PSSI pertengahan 1970-an. Tak heran jika kata
David Jenkins dalam "Suharto di Bawah Militerisme Jepang, Pak Harto
lebih mempercayai efektifitas jaringan relasional daripada kemampuan
seseorang.
Usai mengkonsolidasikan AD, Pak Harto melakukan
pembersihan politik, 1973, dengan fusi parpol. Golkar berjaya sejak itu.
Dalam sejarah Orba, Pak Harto menganakemaskan AD, Kostrad, Kodam V
Brawijaya, Kodam Jaya dan Kodam Diponegoro. Semua KSAD dan Panglima ABRI
lewat jalur empuk itu. Dalam sejarah Orba, hanya dua orang penjilat non
AD yang bisa masuk ke lingkaran elit Pak Harto. Dari AL ada Laksamana
(Purn) Sudomo yang menjadi Pangkopkamtib (lembaga teror Orba), sedangkan
dari AU diwakili Marsekal Madya (purn.) Ginandjar Kartasasmita yang
awet jadi menteri berbagai kabinet.
Ketika Pak Harto berkuasa, AL
dan AU dibiarkan merana. Terjadi banyak kanibalisme alutsista di dua
angkatan ini. Kesejahteraan prajurit juga mengenaskan. Kita bersyukur,
di era reformasi anggaran militer naik meski kenaikannya selambat
bekicot dan masih kalah dibandingkan anggaran militer negara lain di
asia tenggara.
Dirgahayu TNI
----
WAllahu A'lam Bisshawab.
----
Mohon koreksian bila ada kesalahan.
Post a Comment