Di era abad ke-15 hingga abad ke-20 bahasa Melayu memainkan posisi
penting dalam dinamika keilmuan Islam. Selain bahasa Arab, Turki dan
Persia, bahasa Melayu menjadi pilihan dalam pengantar keilmuan,
administrasi, hingga komunikasi sehari-hari di wilayah Asia Tenggara.
Bahkan menjadi bahasa pemersatu Islam Nusantara yang terdiri dari
berbagai macam etnis.
Selain menggunakan bahasa Melayu sebagai
pemersatu keilmuan dan kebudayaan, kaum muslimin di kawasan ini juga
menggunakan aksara Jawi atau juga bisa disebut sebagai aksara Pegon,
yaitu adaptasi dari huruf Arab untuk menuliskan lafal atau kalimat dalam
bahasa lokal (Melayu, Jawa, Bugis, Madura, dan lain sebagainya).
Berdasar pada huruf-huruf Arab “jim” (ج), “ain” (ع), “fa” (ف), “kaf”
(ك), dan “ya” (ي), maka lambat laun tercipta lima huruf yang
masing-masing menandakan bunyi-bunyi yang lazim pada bunyi lidah rumpun
etnis Melayu. Kelima huruf yang tercipta adalah: “ca”, “nga”, “pa”,
“ga”, dan “nya”. Jenis huruf ini di kawasan Jawa disebut juga dengan
huruf Pegon, yang biasanya dipakai untuk menuliskan kitab berbahasa
Jawa. “Dengan cara inilah para ulama kita menuliskan karya-karyanya
untuk konsumsi masyarakat Muslim-Melayu-Indonsia, termasuk kitab-kitab
fiqih,” tulis Nor Huda dalam "Islam Nusantara: Sejarah sosial
Intelektual Islam di Indonesia"
Di antara karya awal yang
terlacak menggunakan aksara Jawi dalam proses penulisannya adalah kitab
Sirath al-Mustaqim buah karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, ulama India
yang menjadi mufti kesultanan Aceh. Meski ulama non-Melayu, namun dalam
menjalankan tugas sebagai serang pendidik umat, Ar-Raniri menyadari
pentingnya penguasaan atas bahasa lokal disertai dengan pola komunikasi
adaptatif yang bisa diterima oleh masyarakat awam. Karena itulah ulama
ini menuliskannya menggunakan aksara Jawi dan berbahasa Melayu, bukan
bahasa Arab.
Setelah Ar-Raniri wafat, seorang ulama lokal dengan
reputasi internasional, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili melanjutkan kiprah
Ar-Raniri dengan menuliskan sebuah karya yurisprudensi Islam (fiqih)
berjudul Mir-at At-Thullab. Karya ini diakui sebagai karya perdana ulama
Nusantara di bidang fiqih yang menggunakan bahasa Melayu beraksara
Jawi-Pegon. Memang, sebelumnya hampir dua abad sebelumnya sudah ada
beberapa karya Walisongo yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa
(hanacaraka) yang lebih banyak membahas tasawuf dan akhlak.
Karya
As-Sinkili ini diakui sebagai salah satu karya tebal yang pernah
ditulis oleh ulama Nusantara era awal. Kitab setebal 650 halaman yang
ditulis tangan ini menyajikan pembahasan fiqih secara lengkap
menggunakan bahasa Melayu kuno. Dengan menyajikan rujukan dari beragam
kitab salaf yang ditulis oleh para ulama bermadzhab Syafi’i, jelas
menunjukkan bahwa As-Sinkili adalah ulama bermadzhab Syafi’i,
sebagaimana madzhab ini dianut oleh mayoritas rakyat kesultanan Aceh dan
kawasan Nusantara saat itu dan hingga saat ini.
As-Sinkili
menunjukkan kualitas keilmuannya melalui kitab ini, antara lain dengan
cara mengupas sebuah permasalahan dengan pola tanya jawab. Isi
pertanyaan seputar masalah keseharian yang dialami oleh masyarakat pada
umumnya, dan kemudian dia jawab dengan menggunakan perangkat keilmuan
yang dia miliki, disertai dengan berbagai rujukan kitab yurisprudensi
klasik. “Kitab yang disajikan oleh Syaikh Abdurrauf ini merupakan
kontribusi besar masyarakat Aceh semasanya dan setelah hidupnya. Si
pengarang dalam menjelaskan duduk permasalahan hukum sangat berhati-hati
dan tidak terlepas dari berbagai pertimbangan, yakni atas dasar
pertimbangan sosial dan sultan.” tulis Muliadi Kurdi (dkk.) dalam
penerbitan ulang Mir-at At-Thullab beraksara latin yang diterbitkan
ulang atas usaha Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2015 silam.
Mengapa
menggunakan standar pertimbangan sosial dan sultan? Sebab kitab yang
berjudul asli Mir-at At-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam
al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab ini ditulis atas permintaan Sultanah
Shafiyyatuddin, penguasa Kesultanan Aceh, diselesaikan pada 1074 H/1663
M. As-Sinkili mempersembahkan kitab ini di hadapan sang ratu pada hari
Sabtu, 8 Jumadil Akhir 1083 H/ 1 Oktober 1672 M.
Raja perempuan
ini adalah istri Sultan Iskandar Tsani, yang menggantikan suaminya dan
berkuasa relatif lama sejak tahun 1051 H/1641 M hingga 1086 H/1675 M.
Sultanah Shafiyyatuddin pantas berterimakasih kepada As-Sinkili, sebab
melalui karya inilah pada akhirnya seorang raja memiliki standar
pegangan manakala akan memutuskan sebuah perkara, dan para hakim (qadhi)
di Aceh saat itu memiliki kitab standar rujukan, selain As-Sirath
Al-Mustaqim karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniri.
Namun, tidak seperti
As-Sirath al-Mustaqim yang hanya membahas masalah ibadah, Mir-at
At-Thullab mengemukakan banyak aspek dari fiqih, termasuk kehidupan
politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum muslimin. Karena mencakup
topik-topik yang begitu luas, karya ini jelas merupakan kitab penting di
bidang tersebut.
Referensi utama karya ini adalah Fath
al-Wahhab karya Imam Zakariyya al-Anshari. Selain itu, As-Sinkili juga
mengambil bahan dari buku-buku standar seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat
al-Muhtaj, dua karya Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H/ 1565 M); Nihayat
al-Muhtaj karya Syamsuddin Ar-Ramli; Tafsir al-Baidlawi karya Ibnu Umar
al-Baidlawi (w. 685 H/1286 M); dan Syarh Sahih Muslim karya Imam
an-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M). “Dengan sumber-sumber ini, As-Sinkili
menjelaskan hubungan dan koneksi intelektualnya dengan jaringan ulama.”
tulis Azyumardi Azra dalam "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia".
Melalui Mir-at At-Thullab, dia menunjukkan kepada kaum muslimin di
kepulauan Nusantara bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas
pada ibadah, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari
mereka. Meskipun Mir-at At-Thullab tidak lagi digunakan di Nusantara
dewasa ini, namun di masa lampau, kitab ini menjadi salah satu kitab
rujukan terpenting kerajaan Islam di kepulauan Nusantara. M.B. Hooker,
salah seorang orientalis, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,
mengemukakan jika "Lumaran", salah satu kumpulan hukum Islam yang
digunakan umat Islam di wilayah Mindanao, Filipina, sejak pertengahan
abad ke-19, menjadikanu Mir-at At-Thullab ini sebagai salah satu acuan
utamanya. Salah satu bagian pembahasan mengenai waris di kitab ini—yang
kemudian dibukukan menjadi Kitab Faraidh—bahkan digunakan sebagai
rujukan oleh sebagian besar kaum muslimin Melayu-Indonesia di masa
belakangan.
Dengan ketebalan di atas rata-rata, Mir-at At-Thullab
dibagi dalam 71 bab. Masing-masing bab membahas topik berbeda, dari
fiqih muamalah, munakahat, jinayah (pidana Islam), ahwal al-syakhsiyyah
(perdata Islam), hingga soal siyasah (politik). Karena merupakan buku
standar rujukan para qadhi (hakim), maka mula-mula As-Sinkili membahas
peranan seorang hakim, hak dan tanggungjawabnya, serta konsekwensi
manakala mengkhianati sumpah dan menyalahgunakan jabatannya.
“Adanya kitab As-Shirat al-Mustaqim karya Ar-Raniri dan Mir-at
At-Thullab karya As-Sinkili menunjukkan, paling tidak, sejak tahun 1600
dan seterusnya terdapat suatu minat yang serius terhadap syariat di
samping tasawuf di kalangan kamu muslim Sumatera.” Demikian tulis Martin
Van Bruinessen dalam "Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia".
Penulis asal Belanda ini
menengarai hal demikian karena pada babakan periode sebelumnya terdapat
kecenderungan terhadap tasawuf falsafi di kalangan masyarakat Aceh,
khususnya pada saat Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani masih hidup
dan mengajarkan pemikirannya di bidang tasawuf falsafi. Pemikiran kedua
sufi aliran Wahdatul Wujud ini kemudian ditentang oleh mufti kesultanan
Aceh, Nuruddin Ar-Raniri, yang membawa genre tasawuf akhlaki.
Setelah Ar-Raniri wafat, corak tasawuf akhlaki digawangi oleh As-Sinkili
yang merupakan pembawa silsilah dan ajaran Tarekat Syattariyah, serta
menjadi salah satu ahli tafsir terkemuka di zamannya. Karya As-Sinkili
yang lain, Tarjuman Mustafid, adalah karya tafsir pertama yang ditulis
oleh ulama Nusantara. Tafsir ini, yang merupakan terjemahan-adaptatif
dari Tafsir Baidhawi, juga ditulis dengan menggunakan aksara Jawi
berbahasa Melayu.
Ulama Lokal dengan Reputasi Internasional
Nama lengkapnya Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fanshuri As-Sinkili.
Sebagaimana terlihat dari namanya, ia adalah seorang Melayu dari Fansur,
Sinkil, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak
diketahui pasti, tapi kemungkinan besar dia dilahirkan pada 1023 H/ 1615
M. Menurut sejarawan muslim A. Hasjmi, dalam “Syekh Abdurrauf Syiah
Kuala: Ulama Negarawan Yang Bijak”, nenek moyang As-Sinkili berasal dari
Persia yang datang di Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13.
Mereka kemudian menetap di Barus (Fansur), sebuah kota pelabuhan tua
yang sangat penting di wilayah Sumatera Barat. Selama hampir dua puluh
tahun, As-Sinkili belajar di Madinah dan berguru kepada ulama jempolan,
Syaikh Ibrahim al-Kurani (w. 1101 H/ 1690 M) dan Syaikh Ahmad
al-Qusyasyi (w. 1071 H/ 1661 M). Melalui jalur dua ulama ini As-Sinkili
mendapatkan izin untuk mengajarkan tarekat, khususnya tarekat
Syattariah.
Di Haramain, dia juga berguru kepada puluhan ulama
dengan ragam keilmuan yang berbeda. Dengan penguasaan mumpuni di bidang
fiqih, ushul fiqih, tafsir, dan tasawuf, As-Sinkili masih menyempatkan
diri mengajar di tanah Arab ini sebelum kemudian dirinya kembali ke Aceh
dan mengabdikan diri sebagai salah satu ulama kerajaan.
“Datang
dari wilayah pinggiran dunia muslim, As-Sinkili memasuki inti jaringan
ulama dan dapat merebut hati sejumlah ulama utama di Haramain.
Pendidikannya tak dapat disangkal lagi, sangat lengkap: dari syariat,
fiqih, hadits, hingga disiplin-disiplin eksoteris lainnya hingga ilmu
kalam dan tasawuf atau ilmu-ilmu esoteris. Karier dan karya-karyanya
setelah ia kembali ke Nusantara merupakan sejarah dari usaha-usahanya
yang dilakukan secara sadar untuk menanamkan kuat-kuat keselarasan
antara syariat dan tasawuf.” tulis Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia".
As-Sinkili wafat pada 1105 H/ 1693 M
dan dimakamkan di kuala atau mulut sungai Aceh. Tempat ini juga menjadi
pemakaman bagi para istrinya, serta salah satu murid kesayangannya,
Dawud al-Jawi al-Rumi, dan beberapa murid lainnya. Karena tempat dia
dikubur itulah, maka As-Sinkili di kemudian hari dikenal sebagai Syaikh
di Kuala, dan diabadikan sebagai salah satu universitas Islam di Aceh,
yaitu Universitas Syiah Kuala. Makamnya hingga hari ini masih menjadi
salah satu destinasi wisata spiritual di kawasan Serambi Makkah.
WAllahu A'lam Bisshawab
* Gus Rijal Mumazziq Z ( Kaprodi Ahwalus Syakhsiyyah STAI Al-Falah Assunniyah Kencong Jember)