Oleh: Gus Rijal MZ*
Kalau debat soal Islam Nusantara, jelas nggak bakal selesai, apalagi
soal istilah-makna maupun asumsi-asumsi negatif soal shalat bahasa Jawa,
kain kafan batik, dan kecurigaan menggelikan lainnya, yang entah
berasal dari mana. Pengusung gagasan Islam Nusantara sudah banyak
menjelaskan soal ini baik melalui artikel dan ada juga beberapa buku
yang mendukung ide Islam Nusantara. Penjelasannya sudah bagus. Kalaupun
ada yang tidak setuju, ya wajar saja, wong namanya juga gagasan. Tapi
kalau ketidaksetujuan itu dilatarbelakangi semata-mata hanya mau
mendengar pendapat dan pemahamannya sendiri, nah itu kayaknya ada
kenaifan berpikir deh.
Enteng saja, saya mendukung gagasan Islam
Nusantara, dan bagi panjenengan yang tidak setuju, silahkan, tapi
jangan memaksakan ketidaksetujuan itu di sini, di lapak saya.
Sesederhana itu.
Soal apa itu Islam Nusantara, beberapa pihak
sudah menjelaskan. Namanya juga istilah, pasti memantik pro kontra
karena setiap kepala punya konsepsi yang berbeda terhadap satu obyek
yang sama. Sebagaimana saya bertanya, apa itu konsep Tiki-Taka?
Penjelasan saya bisa berbeda dengan penjelasan Pep Guardiola, berbeda
pula dengan pemahaman panjenengan, mungkin juga tak sama dengan
pengamatan para Boixos Nois di tribun Nou Camp sana. Tapi, ehm, kita
sama-sama menikmati betapa konsepsi Tiki-Taka ini diaplikasikan dengan
indah di lapangan hijau dan hasilnya juga lebih dari selusin tropi di
zaman Guardiola. Mungkin kita beda definisi tapi kita bisa menikmatinya.
Demikian juga soal Islam Nusantara. Kita bisa merasakan dan
melihat berbagai praktik kaum muslimin dalam bidang politik, sosial,
budaya, yang mendampingi dinamika zaman. Cetak birunya ada di zaman
walisongo lalu dilanjutkan oleh banyak ulama di berbagai titik daerah di
Nusantara. Di bidang fiqh, Madzhab Syafi'i menjadi madzhab populer, di
bidang aqidah menganut Asy'ariyah-Maturidiyah, dan dalam soal tasawuf
lebih bercorak tasawuf akhlaqi Sunni dari jalur Imam al-Ghazali maupun
tarekat mu'tabarah, meskipun corak falsafi pernah ada lalu kalah
dominan. Ini belum bicara soal corak seni ukir, arsitektur
rumah-mesjid, planologi, hingga astronomi, teknologi dan pelbagai
pengetahuan yang lahir dari rahim kaum muslim nusantara.
Apakah
Islam Nusantara anti-Arab? Duh Gusti, bagaimana bisa kita menafikan
peranan Arab, lha wong pengaruh Arab sudah sangat melekat, dari
sumbangan kosakata, seni dll. Belum lagi jaringan ulama Nusantara juga
berporos ke Arab. Perlu bukti lain? Muslim di sekujur Nusantara adalah
orang-orang yang senantiasa menghormati alawiyin dan mencintai kakek
buyutnya.
Dalam pemahaman saya, Islam Nusantara sebagai sebuah
gerakan lebih bercorak inward looking, melihat ke dalam diri beserta
potensi yang dimiliki. Kita punya basis pemahaman yang baik soal
resolusi konflik, misalnya, ini yang kita perkuat. Karena itu beberapa
forum pertemuan ulama dunia di gelar di Indonesia. Beberapa ulama
Afganistan yang capek perang ingin damai akhirnya belajar ke Indonesia
soal Pancasila dll. Bukankah ini potensi?
Potensi lain yang
digali adalah karakteristik keilmuan para ulama Nusantara. Ini ada pada
kebajikan dan kebijakan mereka yang beredar melalui kisah-tutur dan
folklore juga melalui karya-karya tulis mereka, baik dalam bahasa Arab
maupun bahasa lokal. Ini bisa dijadikan pijakan karakter. Contoh kecil,
ngaji kitab tafsir ulama nusantara. Nah, jelas pengajian ini tidak
menafikan karya mufassir lain. Saling menopang. Jika masih belum cukup,
banyak karya ulama lain. Intinya ada apresiasi keilmuan terhadap karya
ulama kita.
Masih kurang? Ada Serat Centhini. Ini karya bagus
yang dianggap kejawen (!) dan parahnya hanya dimaknai sebagai teks yang
menyajikan erotisme belaka (asem tenan!). Kitab lain seabrek dengan
berbagai ragam bahasa dengan pelbagai bahasan keilmuan. Kalau bukan
kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Lha kok kayak
kampanyenya Om Prabowo?).
Ya, harus kita, kalau bukan kita
niscaya kalimat menohok yang diucapkan Peter Carey, penyusun buku
biografi Pangeran Diponegoro, akan terngiang kembali, "Di antara anda
sekalian, mungkin tidak ada yang pernah membaca apa itu Babad
Diponegoro. Dari sinilah awal sebuah akhir,” kata Carey dalam sebuah
bedah buku.
WAllahu A'lam
Post a Comment