Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Olahraga    Kuliner    Film   
Home » , , , , » Antara Gagasan dan Kenaifan Berfikir

Antara Gagasan dan Kenaifan Berfikir

Posted by CahNgroto.NET on Sunday, October 4, 2015

 
Oleh: Gus Rijal MZ*

Kalau debat soal Islam Nusantara, jelas nggak bakal selesai, apalagi soal istilah-makna maupun asumsi-asumsi negatif soal shalat bahasa Jawa, kain kafan batik, dan kecurigaan menggelikan lainnya, yang entah berasal dari mana. Pengusung gagasan Islam Nusantara sudah banyak menjelaskan soal ini baik melalui artikel dan ada juga beberapa buku yang mendukung ide Islam Nusantara. Penjelasannya sudah bagus. Kalaupun ada yang tidak setuju, ya wajar saja, wong namanya juga gagasan. Tapi kalau ketidaksetujuan itu dilatarbelakangi semata-mata hanya mau mendengar pendapat dan pemahamannya sendiri, nah itu kayaknya ada kenaifan berpikir deh. 

Enteng saja, saya mendukung gagasan Islam Nusantara, dan bagi panjenengan yang tidak setuju, silahkan, tapi jangan memaksakan ketidaksetujuan itu di sini, di lapak saya. Sesederhana itu. 

Soal apa itu Islam Nusantara, beberapa pihak sudah menjelaskan. Namanya juga istilah, pasti memantik pro kontra karena setiap kepala punya konsepsi yang berbeda terhadap satu obyek yang sama. Sebagaimana saya bertanya, apa itu konsep Tiki-Taka? Penjelasan saya bisa berbeda dengan penjelasan Pep Guardiola, berbeda pula dengan pemahaman panjenengan, mungkin juga tak sama dengan pengamatan para Boixos Nois di tribun Nou Camp sana. Tapi, ehm, kita sama-sama menikmati betapa konsepsi Tiki-Taka ini diaplikasikan dengan indah di lapangan hijau dan hasilnya juga lebih dari selusin tropi di zaman Guardiola. Mungkin kita beda definisi tapi kita bisa menikmatinya. 

Demikian juga soal Islam Nusantara. Kita bisa merasakan dan melihat berbagai praktik kaum muslimin dalam bidang politik, sosial, budaya, yang mendampingi dinamika zaman. Cetak birunya ada di zaman walisongo lalu dilanjutkan oleh banyak ulama di berbagai titik daerah di Nusantara. Di bidang fiqh, Madzhab Syafi'i menjadi madzhab populer, di bidang aqidah menganut Asy'ariyah-Maturidiyah, dan dalam soal tasawuf lebih bercorak tasawuf akhlaqi Sunni dari jalur Imam al-Ghazali maupun tarekat mu'tabarah, meskipun corak falsafi pernah ada lalu kalah dominan. Ini belum bicara soal corak seni ukir, arsitektur rumah-mesjid, planologi, hingga astronomi, teknologi dan pelbagai pengetahuan yang lahir dari rahim kaum muslim nusantara. 

Apakah Islam Nusantara anti-Arab? Duh Gusti, bagaimana bisa kita menafikan peranan Arab, lha wong pengaruh Arab sudah sangat melekat, dari sumbangan kosakata, seni dll. Belum lagi jaringan ulama Nusantara juga berporos ke Arab. Perlu bukti lain? Muslim di sekujur Nusantara adalah orang-orang yang senantiasa menghormati alawiyin dan mencintai kakek buyutnya. 

Dalam pemahaman saya, Islam Nusantara sebagai sebuah gerakan lebih bercorak inward looking, melihat ke dalam diri beserta potensi yang dimiliki. Kita punya basis pemahaman yang baik soal resolusi konflik, misalnya, ini yang kita perkuat. Karena itu beberapa forum pertemuan ulama dunia di gelar di Indonesia. Beberapa ulama Afganistan yang capek perang ingin damai akhirnya belajar ke Indonesia soal Pancasila dll. Bukankah ini potensi?

Potensi lain yang digali adalah karakteristik keilmuan para ulama Nusantara. Ini ada pada kebajikan dan kebijakan mereka yang beredar melalui kisah-tutur dan folklore juga melalui karya-karya tulis mereka, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa lokal. Ini bisa dijadikan pijakan karakter. Contoh kecil, ngaji kitab tafsir ulama nusantara. Nah, jelas pengajian ini tidak menafikan karya mufassir lain. Saling menopang. Jika masih belum cukup, banyak karya ulama lain. Intinya ada apresiasi keilmuan terhadap karya ulama kita.

Masih kurang? Ada Serat Centhini. Ini karya bagus yang dianggap kejawen (!) dan parahnya hanya dimaknai sebagai teks yang menyajikan erotisme belaka (asem tenan!). Kitab lain seabrek dengan berbagai ragam bahasa dengan pelbagai bahasan keilmuan. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Lha kok kayak kampanyenya Om Prabowo?). 

Ya, harus kita, kalau bukan kita niscaya kalimat menohok yang diucapkan Peter Carey, penyusun buku biografi Pangeran Diponegoro, akan terngiang kembali, "Di antara anda sekalian, mungkin tidak ada yang pernah membaca apa itu Babad Diponegoro. Dari sinilah awal sebuah akhir,” kata Carey dalam sebuah bedah buku.

WAllahu A'lam

SHARE :
CNN Blogger

Post a Comment

 
Copyright © 2015 CahNgroto.NET. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger