Oleh: Muhammad
Yaser Arafat*
Ada banyak
tanggapan terhadap pada tilawah jawi atau pembacaan al-Quran langgam Jawa sejak
ia menghebohkan masyarakat dunia beberapa waktu lalu. Di antaranya berbunyi
tuduhan bahwa tilawah jawi merupakan penolakan pada “yang arab”. Dalam beberapa
pertemuan, beberapa pihak telah menanyakan hal itu pada saya. Mereka dilanda
kekhawatiran tentang adanya upaya untuk membuang dan membenci “yang arab” dari
al-Quran, dan dengan demikian, lahir pula ketakutan pada muslihat untuk mengenyahkan
“yang arab” dari Islam. Bahkan, di youtube, seorang habib populer di
Jawa - entah telah bertabayyun dengan siapa- menyebut tilawah jawi sebagai kelakuan
bervolume kebencian pada “yang arab”. Sungguh saya sangat menyesalkannya.
Terus
terang, tuduhan-tuduhan tersebut membuat saya harus membeberkan fakta sejarah
tentang perlakuan apik kawula jawi pada “yang arab”. Tapi, sebelum itu,
perlu kiranya dipertanyakan; apakah Arab itu Islam, dan dengan demikian, Bahasa
Arab berarti bahasa Islam? Tentu saja tidak. Islam ya Islam. Bahasa
Islam ya bahasa apa saja yang mencirikan rahmat bagi semesta alam. Arab
adalah bangsa. Sama seperti Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, dan semisalnya. Hanya
saja, memang, Bahasa Arab identik dengan Islam. Soalnya Islam memang diturunkan
di tengah-tengah bangsa Arab.
Keidentikan
ini sulit dibantah. Kata guru saya, Pak Damami, Arab dan Islam itu bagaikan fonem
dan morfem. Fonem adalah suara yang muncul saat mengucapkan
huruf/morfem. Huruf “K”, kalau diucapkan, begitulah bunyinya. Memang
pengandaian itu jauh dari ketepatan. Tapi boleh juga ia dikelola untuk
mendekatkan pemahaman. Kiranya dari keidentikan itu pula, banyak manusia dari suatu
suku-bangsa, terutama dalam guliran peradaban modern di Indonesia, yang melisankan
kata-istilah dari Bahasa Arab ke dalam mode percakapan sehari-hari, terutama yang
sepotong-sepotong seperti; ana, antum, akhi, ukhti, ‘afwan, syukron,
jazakallah, umi, abi, ustadz, syekh, mu’allim, dan sebagainya.
Akan
tetapi, karena “yang arab” belum tentu “yang Islam” sekaligus belum tentu “yang
Jawa”, maka penerimaan pada Islam di Jawa tidak serta-merta penerimaan pada
“yang arab”. Benar bahwa dalam banyak hal, “yang arab” betul-betul diterima di Jawa.
Akan tetapi, yang diterima itu bukan semata-mata “yang arab”, melainkan “yang
arab” sebagai percikan Islam. Di bawah ini akan saya paparkan bagaimana “yang
arab” itu diterima di Jawa dengan berbagai macam cara dalam berbahasa, bersimbol,
dan berkonsep. Intinya, saya hanya hendak mengatakan; kurang arab apa Jawa itu?
***
Ya! Kurang
Arab apa Jawa itu? Ada banyak kata-kata Bahasa Arab yang diserap oleh Jawa. Itu
menandakan bahwa alam pikiran Jawa juga sejak jauh malam telah bersekepala
dengan “yang arab” dari Islam. “Beko”,
kata yang biasa dipakai untuk pekerjaan “menangis” bagi anak-anak/bayi, itu
dari Bahasa Arab “baka-yabki-buka’”. “Kayu”, juga dari Bahasa
Arab; “hayyu”, artinya sesuatu yang hidup. Ungkapan minta maaf, “ngapunten”,
itupun dari Bahasa Arab; “’afwun/’afwan”. Hanya karena ada intensi
penghalusan, maka ditambahlah akhiran “nten”, dan hanya karena ada
gambaran “perbuatan meminta”, maka ditambah pula awalan “nga”. Boleh
dibilang, gejala mendadak arab yang biasanya tercermin dari kata-kata “’afwan,
akhi, ukhti” sebenarnya bukan hal baru. Kalau kata-kata itu diucapkan
lantaran anggapan bahwa bahasa setempat tidak islami, semoga itu bukan isyarat
bahwa pengucapnya menderita wabah kelumpuhan pengetahuan mengenai asal-usul
diri.
Untuk
menyebut seorang guru ilmu kehidupan –yang juga dapat disebut “guru ma’rifat”,
orang Arab memakai istilah: “as-Syaikh al-Akbar”, seperti gelar Ibnu Arabi,
sufi besar dari Spanyol. Nah, orang-orang bertipe guru ma’rifat tersebut, di
Jawa juga bergelar sama. Akan tetapi gelar “as-Syaikh al-Akbar” itu
diterjemahkan menjadi “kyai/ki ageng”. Misalnya Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng
Giring, Ki Ageng Selo.
Jika orang
Jawa menanyakan kabar; “pripun kabare? (bagaimana kabarnya?)”, biasanya
orang yang ditanya akan menjawab: “sahe/sae (baik)”. Sahe/sae itu
dari Bahasa Arab: “sahih/soheh”. Pohon-pohon peneduh di pinggiran jalan,
oleh orang Jawa disebut pohon “gayam”. Asalnya dari kata “khayyam/Qayyam”, yang
artinya “sesuatu yang menaungi”. Dalam kosakata sufisme Jawa, nanti istilah
tasawuf semacam “Ruh Idlofi”, akan dieja menjadi “Ruh Ilafi”.
Sebagaimana “fadhilah” akan diucapkan menjadi “palilah”, “mudharat”
diucapkan menjadi “melarat”, “alhamdulillah” untuk menyebut sesuatu
yang dianggap kebetulan akan dieja menjadi “ndilalah”.
Pada tahun
2012, saya meneliti hal ini di daerah Yogyakarta-Jawa Tengah. Saya menemukan
satu contoh mengenai perlakuan pada “yang arab” ini dalam tradisi penyuguhan
kopi atau teh tubruk untuk setiap tamu. Bila ditelisik, kata “tubruk”
merupakan pengalih-bahasaan kata arab; “tabarruk”. Tabarruk
artinya upaya mendapatkan banyak berkah. Dalam Islam, sebagaimana tercermin
dalam berbagai sabda Nabi Muhammad SAW, tamu diakidahi sebagai penggendong berkah.
Karena itu keinginan untuk mengalap berkah sang tamu, oleh sang tuan rumah
disimbolkan dalam bentuk suguhan teh atau kopi tabarruk, yang
pengucapannya telah dialih-ubah menjadi teh atau kopi tubruk.
Contoh
lainnya adalah kue; ketan, kolak, apem. Di Jawa, tritunggal materi
goyang lidah itu biasa disuguhkan di acara slametan atau
disaling-tukarkan pada saat acara nyadran, yaitu semacam acara berkirim
doa untuk arwah para pendahulu yang biasanya dihelat di bulan Ruwah (Sya’ban).
Istilah ketan, kolak, apem sendiri diambil dari kosakata Islam yang juga
bersumber dari Bahasa Arab. Ketan dari kata khothoan, yang
artinya kesalahan. Kolak dari kata qola/qowlan yang berarti
berkata/perkataan. Apem dari kata’afwun, yang berarti permohonan
maaf. Ketika dihidangkan atau disaling-tukarkan, ketan, kolak, apem sebenarnya
sedang ditunjuk untuk menjadi juru bicara permohonan maaf atas kekhilafan dan
kesalahan masing-masing pihak.
Pernah
mendengar istilah “kebogiro”? Itu adalah sebutan dentang musik yang
dimainkan untuk mengiringi pertemuan sepasang pengantin. Asalnya dari kata “hubbu”
dan “ghirah”. Kebogiro merupakan
pelisanan atas kata hubb dan ghirah, yang artinya;
cinta dan hasrat. Dengan mengadakan ritual pemertemuan pengantin lelaki dan
perempuan, orang Jawa ingin menegaskan; bahwa sebenarnya yang dipertemukan di
sana adalah cinta dan gairah. Nantinya, pernikahan dan proses pasca-nikah
seperti pertunggalan fisik (jima’/persetubuhan) lelaki dan perempuan yang telah
resmi menjadi suami-istri, di Jawa disebut; “lakirabi”. Lakirabi pun,
berasal dari Bahasa Arab; “liqoi robbi” (berjumpa dengan
Tuhan).
***
Tentu
masih banyak contoh-contoh lain tentang bagaimana “yang arab” dipergauli oleh
orang Jawa di sini. Bila disebutkan satu-persatu, jumlahnya akan mencapai jutaan.
Ini belum terhitung nama-nama tempat berciri arabik seperti; ngaliyan,
paliyan, sodo, bolawen, laweyan, sayidan, kamdanen, dan masih banyak lagi. Lha
itu, kitab primbon saja, oleh orang Jawa disebut “Betal Jemur”, yang merupakan
pengucapan Jawa dari istilah: “bait al-jumhur”, yang berarti bahwa Kitab
Primbon adalah kitab karya bersama yang dihasilkan dari laku permusyawaratan
para ulama (jumhurul ‘ulama) di Jawa.
Terus,
kurang arab apa Jawa itu? Gini kok katanya anti arab atau penuh
kebencian pada Arab. Mikiro sitik! Wallahu a’lam.
Pelantun tilawah jawi di Istana Negara Republik Indonesia
Post a Comment