Dalam tsabat Syekh Mahfudz Attarmasi, nama Kiai Soleh nDarat,
Semarang, menjadi salah satu matarantai terpenting dalam perjalanan
intelektualnya. Syaikh Mahfudz lahir di Jawa, diajak ayahnya ke Makkah,
disuruh pulang lagi ke Jawa untuk secara khusus berlajar ke Kiai Soleh.
Setelah itu, barulah kemudian beliau kembali lagi ke Makkah.
Kita
tahu, Kiai Soleh dalam matarantai ulama Nusantara memang menempati
posisi vital. Sebelum berangkat ke Haramain, para pelajar ditempa di
tempatnya. Syekh Mahfudz, Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan
adalah di antara hasil didikan Kiai Soleh. Kabarnya, RA. Kartini juga
sempat ngaji ke beliau.
Sebagai orang Jawa, Kiai Soleh menjadi
"jembatan penyangga" yang mentransformasikan ajaran Islam dengan caranya
yang khas untuk kaum muslim pribumi yang stagnan usai Perang Jawa.
Beliau menguasai khazanah intelektual klasik berbahasa Arab, lalu
meraciknya untuk disajikan kepada saudara-saudaranya yang awam
menggunakan bahasa lokal. Karena itu, Kiai Soleh lebih banyak
menerjemahkan, membuat ringkasan, dan memberi penafsiran. Semua
disajikan menggunakan bahasa Jawa pesisiran atau yang beliau sebut
sebagai bilughah al-jawiyyah al-mirikiyyah (menggunakan bahasa Jawa
setempat).
Dalam kitab Majmu'ah as-Syariah al-Kafiyah lil-'Awam
setebal 277 halaman ini, Kiai Soleh nDarat benar-benar menjadi "koki
akademis". Ditulis menggunakan aksara Arab pegon dengan karakter bahasa
Jawa pesisiran, Kiai Soleh mengupas perkara aqaid, shalat, puasa, zakat,
haji-umrah, perkara nikah, hudud, bab sembelihan, makanan halal-haram,
khutbah, dan beberapa bab lain yang saling berkaitpaut. Sebagai "koki
akademis", beliau kulakan bahan dari kitab-kitab lain seperti Manhaj
at-Thullabnya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Mughniyul Muhtaj-nya
Khatib Syarbaini, Durorul Bahiyyah-nya Imam Syaukani (di sini ditulis
karya Sayyid Bakri [Syatha' ?], dan Ihya Ulumiddin-nya Imam al-Ghazali
(sebagaimana penuturan muallif di akhir kitab). Hasil kulakan ilmu ini
diracik, diolah dan disajikan oleh beliau dengan bahasa yang sangat
mudah dipahami orang awam.
Oleh karena itu, beliau menjelaskan
dalam kitab ini, ".... kerono arah supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun
awam kang ora ngerti boso Arab mugo-mugo dadi manfaat biso ngelakoni
kabeh kang sinebut ing njerone iki tarjamah."
Sebagai "koki
akademis", beliau tentu saja nggak hanya meracik saja, melainkan juga
memberi sentuhan citarasa antikolonialisme dengan mengharamkan
penampilan menyerupai orang kafir. Di halaman 25 kitab ini, Kiai Soleh
menegaskan siapapun yang menggunakan perangkat penampilan orang kafir
(liyani ahli Islam) seperti baju-jas, topi atau dasi, hukumnya murtad,
rusak Islamnya. Ini jelas fatwa yang bisa dibaca dalam konteks zamannya
sebagai keputusan revolusioner yang kemudian juga diikuti oleh ulama
generasi setelahnya seperti Kiai Raden Asnawi dan beberapa ulama NU,
yang kemudian berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Dengan
membaca kitab yang diterbitkan Thoha Putra Semarang ini kita bisa
melihat kegigihan Kiai Soleh dalam membuka wawasan keilmuan orang awam
di tengah sensor ketat pemerintah kolonial terhadap pelbagai kitab yang
beredar di pesantren. Apalagi setelah Perang Jawa usai, kaum ulama
santri mengalami diaspora luar biasa dan pemuda usia produktif dipaksa
mengikuti program tanam paksa (cultuur-stelsel) sehingga wajar jika Kiai
Soleh disebut sebagai pembuka kembali kran pengetahuan keagamaan,
melalui kitab "Fasolatan", "Majmu'ah Syari'ah al-Kafiyah lil-'Awam", "
Syarh Hikam", "Munjiyat", "Sabilul 'Abid", Tafsir "Faidhur Rahman" dan
beberapa karya lain.
Mengapa saya sebut "pembuka" kembali? Karena
beliau berhasil menjadi "koki intelektual" yang secara inovatif
mengolah bahan akademis di masa lampau untuk di(re)produksi dan
disajikan kepada kaumnya. Nafa'anallahu bi'ulumihi wabarakatihi, amin.
WAllahu A'lam
Post a Comment