Manusia hidup memang penuh dengan ujian, orang kaya diuji dengan kekayaannya, mampukah ia bersyukur akan nikmat dan karunia yang telah ia dapatkan, sedangkan orang miskin diuji dengan kemiskinannya, mampukah ia bersabar dengan keadaan yang menimpa dirinya. Jika mereka mampu melewati ujiannya masing-masing yang telah diberikan kepada mereka, maka akan selamat diakherat kelak, tapi sebaliknya jika ia tidak mampu maka kesengsaraan yang akan ia peroleh.
Seperti halnya kehidupan, hal itu pula yang terjadi pada para santri Pondok Pesantren Assalafi Miftahul Huda Ngroto, mereka selama menempuh studi, diuji dengan Ujian Semester Ganjil. Hal ini sebagai tolok ukur mampukah mereka mengerjakan soal-soal yang telah diberikan dari para asatidz pondok. Baik dari jenjang Ula, Wustho bahkan samapai jenjang Ulya sekalipun mereka mendapatkan perlakuan sama yakni tetap mengikuti ujian.
Ustdadz Khubil Aman, KADIV pendidikan Miftahul Huda mengatakan, kepanitiaan ujian kali ini disentralkan menjadi satu dan masa berakhir tugasnya sampai diakhir tahun ajaran. Agar panitia dapat mengevaluasi kekurangan disana sini selama pelaksanaan ujian, baik respon asatidz maupun keseriusan dan kesiapan santri. Selaku ketua panitia ujian kali ini adalah saudara Muhlison dan dibantu kawan-kawan kelas tertinggi yakni 2 Ulya Putra dan Putri dalam segi teknis lapangan.
Beliau menjelaskan bahwa dalam upaya meminimalisir kegiatan mengerjakan secara berjamaah dibuat kelas acak, yang mana dalam satu ruangan terdapat dua bahkan tiga kelas didalamnya. Langkah ini direspon positif oleh para asatidz karena selain peran serta para pengawas sistempun juga harus ikut berkontribusi dalam mengontrol pelaksanaan ujian. Menurut informasi dari Sekretariat Panitia Ujian, kali ini semesteran sendiri diikuti oleh 323 (tiga ratus dua puluh tiga ) santri dari kelas 3 Ula sampai Kelas 2 Ulya, serta melibatkan 34 (tiga puluh empat) penguji dan pengawas ujian dari dewan Asatidz dan Asatidzah .
Tidak mudah memang untuk ikut serta menjadi peserta ujian, karena ada tahapan-tahapan yang harus dilalui baik secara administratif maupun secara regulatif. Diantara langkahnya adalah santri harus memenuhi syarat yang tidak ringan, kitab dan buku harus tam (sempurna) makna dan tulisannya selama satu semester. Tahapan berikutnya adalah mengikuti al Imtihan al Syafahi ( ujian lisan) yang mana aspek yang ditekankan adalah kemahiran santri dalam menguasai dan menerapakan gramatika arab baik dalam segi ilmu nahwu, shorof maupun kebenaran dalam pembacaan kitab. Disini santri disodorkan kitab kosongan dan membaca beberapa kalimat yang yang telah ditentukan penguji. Selain dua tahapan diatas ada lagi ujian praktek ibadah yang mana hasil penilai akan dijadikan bahan dalam pertimbangan pembuatan nilai raport.
Seperti yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya al Imtihan al Tahriri (ujian tertulis) merupakan akhir dari agenda ujian. Tetapi satu hari sebelumnya santri menjalani musamahah (hari tenang). Suasana berbeda akan terlihat disudut-sudut kamar santri dan teras gedung pondok baik putra maupun putri. Mereka benar-benar melakukan persiapan yang luar biasa. Yang biasanya hanya sekedar belajar diruang kamar, kali ini mereka menenteng kitab kemanapun merekeka berada, kecuali kamar mandi atau dikantin. Keikutsertaan santri dalam ujian tertulis ini adalah sebagai syarat pokok kenaikan kelas, jika mereka dapat hadir dan mengerjakan dan mendapatkan nilai baik. Mereka akan dapat mengikuti semester berikutnya.
( *Saifuddin - PPMH Ngroto )
Post a Comment