Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Olahraga    Kuliner    Film   
Home » » Nasionalisme, antara Tantangan dan Jawaban

Nasionalisme, antara Tantangan dan Jawaban

Posted by CahNgroto.NET on Thursday, January 19, 2012

Oleh: Ahmad Sidqi*

Nasionalisme yaitu doktrin yang menyatakan bahwa kelompok etnis dan politik haruslah kongruen (sama dan sebangun). Secara lebih spesifik dan konkret, nasionalisme menyatakan bahwa negara nasional yang diidentifikasikan dengan kultur nasional dan berkomitmen untuk melindunginya adalah unit politik natural, dan bahwa adalah keliru jika sejumlah besar anggota komunitas nasional diwajibkan hidup di luar batas negara nasional. Istilah nasionalis, maupun nasional yang berasal dari kata latin yang berarti "lahir di", kadang kala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari kata Yunani, etnik. Namun, istilah yang terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa dan keturunan bersama di luar konteks politik.

Prinsip nasionalisme dianut secara luas dan bahkan diterima begitu saja di dunia modern. Di mata penduduk penduduk dewasa ini, adalah wajar jika orang semestinya tinggal di dalam unit politik yang beranggotakan orang dari "kebangsaan" yang sama, atau kultur yang sama, dan seharusnya menolak kekuasaan asing. Unit politik dan nasional adalah unit yang mempresentasikan dan mengekspresikan kehendak mayoritas dari satu bangsa, melindungi kepentingannya, dan menjamin kelangsungan hidup budayanya.

Asal-usul dari nasionalisme terdapat di lingkungan pergaulan pergaulan Jerman abad kedelapan belas yang secara kultur bersatu tetapi secara politik terpecah belah, dan dalam pergolakan luas di Eropa yang disebabkan oleh Revolusi Prancis. Nasionalisme lahir dari jiwa-jiwa patriotisme yang kukuh. Ada beberapa tokoh mengemukakan tentang pengertian Nasionalisme.

Nasionalisme dalam perkembangan di Indonesia mendapatkan pengaruh yang besar. Apalagi zaman sekarang ini dengan arus globalisasi yang diboncengi oleh kapitaslime berkelanjutan (late capitalism). Dahulunya Kapitaslime ini adalah sebuah sistem yang bergerak melalui fisik yaitu melalui kolonialisme dan imperalisme yang secara historis sudah berkuasa berabad-abad. Peranan budaya sangat penting bagi Indonesia. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara yang multikultur, negara yang memiliki banyak budaya. Budaya dalam pengertian yang luas adalah pancaran daripada budi dan daya. Seluruh apa yang difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau umat. Makna budaya pada hari ini dibatasi dengan maksud lagu, musik, tarian, lakonan dan kegiatan seumpamanya.

Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi dan murni dari sesuatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan peradaban. Globalisasi yang melakukan hegemoni atau penguasaan dalam hampir semua kehidupan manusia amat besar kesannya terhadap umat Islam. Pengaruh globalisasi tidak saja subur dalam aspek maklumat tetapi juga amat luar biasa dikembangkan dalam bidang hiburan popular Barat, bidang keilmuan dan penyelidikan, aspek teknologi canggih dan dominasi sistem ekonomi kapitalis-liberal, bidang bahasa dan sistem nilai sehingga menyebabkan proses pembaratan dan pengliberalan berlaku dalam semua aspek kehidupan bangsa Indonesia, yang terjadi adalah masyarakat Indonesia terbuai dalam kenikmatan dari kapitalisme tersebut dan merubah paradigma berpikir produktif menjadi konsumtif , merubah paradigma budaya tradisional yang lebih memiliki muatan kearifan lokal (local wisdom) menjadi budaya liberal

Antara Pembangunan dan Globalisasi
Semenjak rezim Soeharto Indonesia telah membuka upeti besar, yaitu masuknya investor asing ke Indonesia. Terjangan kapitalisme mulai masuk, dengan statement nya adalah Pembangunan Indonesia. Ini merupakan dampak masalah krusial hingga saat ini. Jika dahulu sang founding father kita Ir. Soekarno menerapkan teori "Berdikari" Kepanjangan dari Berdiri Di Atas Kaki Sendiri, yaitu independen dalam ekonomi melalui sektor koperasi, independen dalam politik, dan ketahanan negara.

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksplorasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses dominasi ini sesungguhnya adalah secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintegrasi ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global (Fakih, 2001: 211).

Pada tahun 1980an, apa yang kini dikenal dengan nama faham "neo-liberal" mulai dirasa pengaruhnya, ketika pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi yang berwujud paket deregulasi semenjak 1983. Mulai saat itu, dapat dikatakan bahwa pola-pola pembangunan di Indonesia mengadopsi kebijakan neo liberal karena keterikatan Indonesia kepada CGI (saat itu: IGGI), Bank Dunia dan IMF.

Banyak di antara kebijakan tersebut yang membuat Indonesia makin terbuka pada intervensi kapital dalam skala global, misalnya kebijakan di bidang investasi, kebijakan di bidang fiskal, kebijakan di bidang perdagangan dan kebijakan di bidang moneter dan keuangan (Setiawan, 2001). Laporan Bank Dunia awal 1997 masih memuji ekonomi Indonesia dan menyatakannya sebagai contoh yang paling baik dengan fundamental ekonomi yang bagus. Indonesia digolongkan sebagai NICs (New Industrialised Country) di Asia bersama Thailand, Malaysia dan Filipina (World Bank, 1997).

Tantangan Globalisasi
Globalisasi dalam arti empiris, bisa mengandung gejala sebagai bentuk imperialisme baru dari negara-negara industri maju (NIM) vis-a-vis negara-negara sedang berkembang (NSB). Namun dalam era di mana peran teknologi informasi semakin massif serta hegemoni negara industri maju tak terhindarkan, kini praksis globalisasi mengalami objektivikasi (menjadi faktor objektif).

Tesis Samuel Hutington yang menyatakan bahwa masa depan dunia akan diwarnai dengan peran peradaban. Padahal, dengan kecepatan informasi dan komunikasi, globalisasi politik dan ekonomi hanya membuat dekatnya jarak territorial. Sedangkan globalisasi budaya, memperlihatkan hal yang lebih yaitu, mengetahui perbedaan satu sama lain. Menurut Diminique Wolton, ketua Kajian CNRS Center Of National Research Scientific/CNRS (LIPI-nya Prancis) menyebutkan, dengan masuknya informasi budaya dunia akan mengakibatkan penguatan budaya lokal disamping pertemuan budaya yang kian sering terjadi. "Masing-masing negara ingin berpartisipasi dan mengambil keuntungan, namun tumbuh juga keinginan untuk mempertahankan identitas"(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/12/13/brk,20041213-29,id.html).

Bagi Indonesia ada hal positif yang telah dimiliki. Pertama, jumlah penduduknya yang sangat besar. Ini bisa membuat kekuatan kebudayaan lokal. Kedua, adanya bahasa yang digunakan secara bersama. Ketiga, Indonesia mempunyai warisan budaya yang besar, seperti Budha, Islam dan barat. Diharapkan, kata dia, berbekal pada hal tersebut Indonesia bisa lebih baik memasuki globalisasi budaya ini.

Metode Antisipasi Globalisasi
Meminjam teori Didin S. Samanhuri, "Consensus Scenario In Democratization Process", yang berbeda dengan demokrasi Barat yang sangat menekankan kemampuan dalam pengelolaan konflik( Samanhudi, 2008). Tingkat kesejahteraan pekerja Jepang adalah tertinggi di dunia bersama Swedia. Namun berbeda dengan negara-negara Eropa, keberhasilan Jepang terutama karena peran menciptakan konsensus antara pekerja dan majikan di tingkat mikro-perusahaan dengan melakukan negosiasi harian tentang problem-problem pekerja. Hal ini menghindari konflik berkepanjangan di tingkat makro antara buruh dan majikan karena serikat buruh yang sangat kuat serta telah terpolitisasi. Demikian lima ciri yang menonjol yang layak dijadikan referensi oleh bangsa kita untuk merevitalisasi nilainilai kebangsaan dan membangun ''patriotisme baru'' dalam menghadapi arus globalisasi dan hegemoni Barat dewasa ini

Memproteksi melalui unsur-unsur kebudayaan lokal merupakan sebuah solusi yang sangat signiifikan dapat diimplementasikan. Memang perlu digaris bawahi bahwa pembangunan nasional telah membawa kemajuan dan berkat bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam proses transformasi tersebut, akan terjadi peningkatan dan pembaharuan sistem nilai (inkulturasi) terutama dalam menumbuhkan menumbuhkan etos kerja, dan pengkayaan serta pengembangan sistem nilai (akulturasi) terutama dalam menumbuhkan sikap yang kritis rasional serta menumbuhkan sikap yang arif bijaksana. Jadi, itulah yang dikatakan sebagai Pancasilais sejati.
=========
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Filsafat Universitas Gadjah Mada, generasi Muda Nahdlatul Ulama

SHARE :
CNN Blogger

Post a Comment

 
Copyright © 2015 CahNgroto.NET. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger