Subhaanallaah wal hamdulillaah walaa ilaaha illallaah Allaahu akbar…
***
Perjalanan ini memang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari ketika kami masih di Jogjakarta. Setidaknya, ada tiga hajat besar yang ingin kami tuju dari perjalanan kali ini: Sowan-ziarah maqom ke Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA (mursyid thoriqoh wan naqsyabandiyah al qodiriyah al ‘ustmaniyah), ziarah maqom ke kanjeng Sunan Ampel dan hajat yang ketiga: menghadiri rapat persiapan Jambore Al Khidmah Kampus Nasional serta Majlis Dzikir-Sholat Tashbih Akbar. Ketepatan, untuk hajat yang pertama dan ketiga, berada di satu lokasi: Pondok Pesantren Al Fitrah Surabaya.
Kami berjumlah lima orang: Saya, Huda, Zainal, Denez dan Kharis. Empat dari kami dari kampus Jogja dan mewakili kampus masing-masing. Huda, Al Khidmah Kampus DIY, Denez, Al Khidmah Kampus UGM), saya, Al Khidmah Kampus UII, dan Kharis, Al Khidmah Kampus UIN Sunan Kalijaga. Sementara Zainal, ia mewakili Al Khidmah Kampus Brawijawa Malang. Niat sudah bulat, kami memutuskan untuk berangkat pukul 4 sore. Meski, badan terasa sangat capek—karena baru saja menempuh perjalanan mudik Jogja –Tulungagung, selama 7 jam di atas kendaran bermotor—namun hati ini terasa tentram bila dibenturkan dengan krentek: “ini demi khidmah kita ke Hadlorotusy Syaikh dan wewakili Al KHIDMAH Kampus masing-masing,” kata salah seorang dari kami.
Setelah menunggu kedatangan kereta yang sedikit molor dari jam semestinya—maklum, kereta ekonomi—berangkatlah kami dengan modal bismillaah….
Selama di dalam kereta, kami tidak banyak bercakap. Ya, maklumlah, kami baru datang dari Jogja jam 11 siang. Belum lagi puas istirahat, jam 4 sorenya langsung meluncur ke Surabaya. Hanya tidur di atas kursi kereta yang membikin kami nyaman.
Stasiun Semut – Surabaya. Pukul 22.34 wib
“Bro…bro…tangi, tangi, sudah sampai,” Huda membangunkan saya.
Kami berlima langsung mengambil tas masing-masing. Turun dari kereta. Keluar menuju jalan luar stasiun. Meski malam hari, suasana di sekitar stasiun itu masih terlihat ramai. Beberapa kendaaran terlihat lalu lalang menghiasai jalanan di malam berbintang itu. Tak ayal, taksi yang kemudian kami minta berhenti pun juga ikut meramaikan jalanan yang menghubungkan Surabaya – Madura itu.
“Ke Kedinding Lor, Pondok Al Fitrah ya, Pak,” bilang saya, ke sopir taksi.
“Kedinding Lor?” bapak sopir itu sedikit mengernyutkan dahi, “iya..ayo..masuk…” kata pak sopir itu sambil melambai-lambaikan tangannya kepada kami.
Pondok Pesantren Al Fitrah, Pukul 22.55 wib
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin… tiba juga akhirnya, kami, di pintu masuk pondok pesantren yang ingin kami tuju. Suasana di pesantren ini terlihat masih ramai. Puluhan santri berkopyah khas putih sedang mempersiapkan hajat besar untuk hari esok: Majlis Dzikir AL KHIDMAH, Sholat Tashbih dan Sholat Hajat Akbar.
Wajar, persiapan demi persiapan, seperti yang sering disebut-sebut oleh kakak saya, Najib Yuliantoro, pun pada malam itu terlihat sangat dimatangkan. Acara yang rencana akan di gelar di lapangan pesantren dan sepanjang gang menuju arah pesantren ini, pada malam keesokan harinya itu, adalah puncak dari seluruh rangkaian safari Jama’ah AL KHIDMAH selama bulan Ramadlan yang tersebar di seluruh tanah Jawa pada tahun ini. Tikar, air minum, pembatas jama’ah, sound system, lampu, konsumsi dan persiapan lainnya, telah dipersiapkan oleh para santri pada malam itu juga.
Kedatangan kami di pesantren ini memang tidak untuk membantu para santri, maka setibanya kami di pesantren, kami langsung istirahat. Jam 3 pagi buta kami harus bangun untuk sahur. Lalu, sambil menunggu adzan shubuh yang didahului oleh tarhim, kami sudah merencanakan untuk ziarah maqom ke Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA.
Ini memang pengalaman pertama saya ke pesantren dan ke maqom ini. Memang, saya sedikit terlambat mengetahui bahwa pendiri pondok ini, Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA adalah seorang ulama’ kharismatik besar. Ketika masuk ke maqom dan melihat maqom beliau, tidak tahu kenapa saya meneteskan air mata. “Subhaanallaah… Bagaimana hal ini bisa terjadi?”. Beliau adalah seorang ‘alim ‘allamah, secara total, mengabdikan diri ber-khidmah hanya untuk ummat, berjuang lillahi ta’ala. Beliau juga seorang mursyid dan murabbi, yang ketika masih muda ditunjuk langsung oleh mursyid thoriqoh sebelumnya, Hadlorotus Syaikh Utsman Al Ishaqy.
Dari Pesantren Al Fitrah menuju Maqom Sunan Ampel
Setelah sholat shubuh secara berjama’ah dengan para santri di pesanten ini, kami berencana bertolak untuk ziarah ke maqom Sunan Ampel. Tapi, ada yang mengganjal diantara kami. Belum pernah ada diantara kami yang tahu jalan menuju Sunan Ampel. Tanyalah kami akhirnya ke salah satu santri di pesantren itu.
“Oh, mangke jenengan naik Len (angkot.red) warna orange dari depan pondok itu,” katanya sambil menunjuk pintu masuk pesantren, “setelah itu, jenengan bilang saja sama sopirnya, mau ke Sunan Ampel. Nanti jenengan diturunkan di perempatan Nggirik-an. Terus nanti jenengan jalan saja ke arah selatan kurang lebih 100 meter. Pun dugi niku mangke.”
“Oh….mekaten njjeh. Matur nuwun njjeh, kang,” jawab saya setelah memberikan keterangan bahwa kami dari Jogjakarta.
Ada sedikit cerita ketika kami naik len. Waktu itu selama di dalam len, kami memang tidak banyak cakap, malahan, kami hanya mendengarkan saja percakapan-percakapan para penumpang yang sama-sama ada di dalam len itu. Mereka berbicara memakai logat Suroboyo-an. Seorang ibu-ibu, yang terus saja berucap di dalam len itu, bercerita tentang sifat manusia yang ia temui hari ini. Kebetulan, dari ceritanya, saya dapati ternyata baru saja ada kecelakaan kendaraan, antara orang jawa dengan orang Madura.
Pastinya saya kurang tahu persis kejadiannya seperti apa. Yang saya pahami, dari percakapan ibu-ibu itu dengan kawannya di dalam len, ia mengatakan, “kabeh wong iku podho… (semua orang itu sama)..” katanya dengan tetap memakai logat khas Suroboyo-an, “mung atine wae bedho. Ngga onok sing ngerti nek ati iku…(Cuma, hatinya saja yang membikin beda. Tak ada yang tahu tentang urusan hati itu)…” ibu itu masih meneruskan, “kecobo siji: Pengeran sing kuoso…(kecuali satu: Allah Yang Maha Kuasa)…” katanya sambil nunjuk arah atas.
Sementara itu, secara pribadi saya masih was-was. Dalam hati terus bertanya-tanya, “Perempatan nggririk-an sudah belum ya?”. Akhirnya, saya beranikan diri untuk bertanya pada ibu-ibu tadi yang, ketepatan duduk tidak jauh dari tempat saya duduk.
“Oh, badhe teng Nggirik-an ta, Nak? Badhe ziarah Ampel ta, Nak?” (Oh, mau ke Nggirik-an ya, Nak? Mau Ziarah ke Sunan Ampelkah, Nak?) katanya sambil melihat kepala kami masing-masing yang memakai kopyah khas putih. “Iya, bu’” jawab saya, senyum.
“Jik pisan iki a, ke Surabaya?” (baru kali ini ya, ke Surabaya?) tanyanya lagi. “Arek ngendi a, Nak, sampean?” (dari manakah, Nak, kamu?) “Iya, bu’. Saking Jogjakarta.” (Iya, bu’. Kami dari Jogjakarta) Jawab saya, singkat.
“Engko melok aku ae, Nak. Aku yo arep ke Nggirik-an. Wis, melok aku ae. Engko sampean melok aku. Turun nok perempatan. Mlaku ae, Nak, ke maqome. Cedak kok. Jo takon karo wong lanang yo, Nak. Nek takon-takon engko sampean karo wong wadok ae, ben ndak diarahno naik becak. Wong cedak kok.” (Nanti ikutin saya saja, Nak. Saya juga mau ke Nggirik-an. Sudah, ikut saya saja nanti. Nanti kalian ikut saya. Nanti kalau tanya-tanya, kalian tanya saja dengan wanita, jangan laki-laki, biar tidak diarahkan untuk naik becak. Soalnya cuma dekat, Nak, ke arah maqom Sunan Ampel itu). Ibu itu menjelaskan panjang lebar.
“Oh. Injjeh, bu,” jawab saya lagi.
Akhirnya, tibalah kami di perempatan Nggirik-an. Kami turun, mengikuti ibu itu yang lebih dekat dengan pintu len daripada kami. “Ayo, nak turun, Nak. Sampean melok aku.” Setelah turun, saya berniat mau membayar ke sopir Len tersebut, tapi sama ibu-ibu itu dilarang. Malah ibu’ itu bilang begini: “Wis, wis, nggak usah, Nak. Aku ae sing bayar. Wis, nggak opo. Enggo santri iki, wis aku ae, Nak, sing bayar.” (sudah, sudah, tidak usah, Nak. Saya saja yang membayar. Sudah tidak apa-apa. Demi santri ini, sudah biar saya saja yang membayar ongkosnya, Nak)
Subhaanallaah…dalam hati saya terbesit: Ibu ini luar biasa betul dengan orang berkopyah putih. Kami pun mendapat julukan santri seketika itu juga, padahal belum pantas bila gelar itu disematkan untuk kami. Dan….ongkos naik angkot kami,jadi beliau bayari gara-gara kami memakai kopyah putih khas pesantren Al Fitrah. Subhaanallaah….*Semoga Allah memudahkan setiap urusan ibu’. Memberikan kelancaran, keberkahan, dan ke-istiqomah-an untuk ‘ibaadallaah…lillaahi ta’aalaa…aamiin.
Kami pun langsung mengikuti arah-arah yang diberikan ibu’ tadi. Hingga sesampainya kami di maqom, kami langsung mengambil air wudlu, kemudian menuju maqom Sunan Ampel.
Yang namanya maqom Sunan Ampel, tidak pernah sepi. Meskipun pagi, siang, atau malam, di sekitar maqom ini selalu saja ramai oleh para peziarah. Demikian keterangan yang saya dapati dari para peziarah sebelumnya. Dan ternyata, hal itu benar. Suasana di sekitar maqom ramai oleh para peziarah.
Terkait Sunan Ampel sendiri, sudah banyak cerita yang mengkisahkannya. Yang jelas, di tanah jawa ini, awal mulanya ada ajaran agama Islam yang membawa ya beliau-beliau ini: para wali 9. Dan Sunan Ampel, adalah guru dari para wali-wali tersebut.
Setelah selesai berziarah, seperti biasa, kami sempatkan untuk sedikit belanja di sepanjang jalan menuju jalan keluar maqom. Ada banyak kios di sana: mulia dari penjual tasbih, minyak wangi, baju muslim-muslimah, kopyah, kerudung, foto para wali, ulama’ dan sejenisnya.
Pondok Pesantren Al Fitrah, Pukul 09.35 wib
Setelah sampai lagi di pesantren ini. Kami langung mencari teman-teman kami: Al Khidmah Kampus Surabaya, Malang dan Semarang. Rupanya, mereka sudah tiba. Ada yang dari ITS, IAIN Sunan Ampel, UNDIP, UIN Malang, Unibraw, dan kami dari kampus Jogja (UIN, UGM, UII).
Rapat persiapan Jambore AL KHIDMAH Nasional di mulia sekitar pukul 10.20 wib. Meski dihadiri oleh sedikit orang, namun para hadirin ini adalah para inisiator Jambore AL KHIDMAH kampus dari kampus-kampus yang ada di tanah Jawa ini. Beberapa kesimpulan terkait persiapan Jambore AL KHIDMAH Nasional ini adalah sebagai berikut:
Insya Allah akan dilaksanakan di bulan November, sekitar tanggal 25 s.d 27. Pesertanya sesuai dengan visi-misi AL KHIDMAH: siapa saja, dari semua golongan, putra dan putri, namun diutamakan para mahasiswa-mahasiswi dari berbagai kampus yang suka dengan kegiatan doa bersama: Berdzikir kepada Allah SWT, membaca Al Quran bersama, bersolawat bersama kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, membaca manaqib bersama lisultonul auliya’ Syekh Abdul Qodir Al Jailani r.a, dan berdo’a bersama-mendo'akan kedua orang tua, para leluhur, guru-guru, sampai arwahul muslimin wal muslimat al akhya’i minhum wal amwat, fi jami’ il jihad.
Sementara itu, jam di dinding masjid pesantren Al Fitrah menujuk pukul 15.15 wib. Saya dan beberapa teman AL KHIDMAH kampus, setelah sholat ashar di masjid, kembali lagi menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan.
Ada pemandangan yang mengejutkan di hadapan saya. Ratusan jama’ah berpakain putih-putih berdatangan untuk acara nanti malam di pesantren ini. Dari kendaran-kendaraan yang parkir di sekitar pesantren itu, saya dapati ada yang dari Semarang, Tulungagung, Malang, Kediri, Jakarta, Jogjakarta, Bojonegoro, Lamongan dan masih banyak lagi.
Menjelang waktu berbuka, ratusan jama’ah sudah berjubel. Subhaanallaah…saya sampai bingin bagaimana bisa melukiskannya dengan tulisan-tulisan di sini. Yang jelas, mereka, para jama’ah berpakaian putih-putih itu, sudah pada menempati tempat-tempat yang telah disediakan panitia. Hebatnya, acara yang sebegitu besar, yang masih separonya dari acara Haul Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA ini, tiada lain tiada bukan adalah para santri Pesantren Al Fitrah sendiri.
Lantunan gema sholawat tiada henti-hentinya terus dikumandangkan dari masjid Pondok Pesantren ini sambil menunggu waktu berbuka. Hingga sampai acara puncak, di malam harinya setelah sholat tarawih, bacan-bacan sholawat, tahlil, dan istiqhotsah kembali menggaung mengguncang langit di sekitar pesantren. Gema istighotsah dan tahlil akbar itu serasa mengguncang langit secara bertubi-tubi Kota Surabya di malam penuh rahmat itu. Menembus cakrawala. Langit dan bintang-bintang di malam itu menjadi saksi dari ratusan ribu manusia yang sedang berdzikir, berdoa bersama untuk umat Muhammad, untuk para orang tua, untuk para aulia’ dan juga para guru.
Subhaanallaah wal hamdulillaah walaa ilaaha illallaah Allaahu akbar…tidak sedikit suara isak tangis dari para jama’ah ikut melengkapi suasana di malam itu. Subhaanallah..Ya Rabb...terasa betul ribuan malaikat ikut turun mengamini. Ribuan malaikat pun ikut-mengikuti alunan dzikir yang dipimpin oleh seorang imam. Bertasbih, memuji keagungan Allah Subhaanahuwata’alaa.
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, salah seorang pecinta & penggerak Majlis Al Khidmah Kampus Ngayogyokarto Hadiningrat.
“Ini memang pengalaman pertama saya datang ke Pondok Pesantren Al Fitrah Surabaya. Pondok ini, menurut beberapa keterangan, dulunya hanya berada di atas tanah berukuran 3 hektar. Jumlah santri pun sedikit, namun, pemandangan yang begitu mengagetkan muncul menggebrakkan keterangan tersebut: ratusan ribu manusia berbalut baju putih-putih, dari berbagai daerah, berjubel di lapangan dan sekitar lingkungan pesantren itu. Ada apakah gerangan?”
***
Perjalanan ini memang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari ketika kami masih di Jogjakarta. Setidaknya, ada tiga hajat besar yang ingin kami tuju dari perjalanan kali ini: Sowan-ziarah maqom ke Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA (mursyid thoriqoh wan naqsyabandiyah al qodiriyah al ‘ustmaniyah), ziarah maqom ke kanjeng Sunan Ampel dan hajat yang ketiga: menghadiri rapat persiapan Jambore Al Khidmah Kampus Nasional serta Majlis Dzikir-Sholat Tashbih Akbar. Ketepatan, untuk hajat yang pertama dan ketiga, berada di satu lokasi: Pondok Pesantren Al Fitrah Surabaya.
Kami berjumlah lima orang: Saya, Huda, Zainal, Denez dan Kharis. Empat dari kami dari kampus Jogja dan mewakili kampus masing-masing. Huda, Al Khidmah Kampus DIY, Denez, Al Khidmah Kampus UGM), saya, Al Khidmah Kampus UII, dan Kharis, Al Khidmah Kampus UIN Sunan Kalijaga. Sementara Zainal, ia mewakili Al Khidmah Kampus Brawijawa Malang. Niat sudah bulat, kami memutuskan untuk berangkat pukul 4 sore. Meski, badan terasa sangat capek—karena baru saja menempuh perjalanan mudik Jogja –Tulungagung, selama 7 jam di atas kendaran bermotor—namun hati ini terasa tentram bila dibenturkan dengan krentek: “ini demi khidmah kita ke Hadlorotusy Syaikh dan wewakili Al KHIDMAH Kampus masing-masing,” kata salah seorang dari kami.
Setelah menunggu kedatangan kereta yang sedikit molor dari jam semestinya—maklum, kereta ekonomi—berangkatlah kami dengan modal bismillaah….
Selama di dalam kereta, kami tidak banyak bercakap. Ya, maklumlah, kami baru datang dari Jogja jam 11 siang. Belum lagi puas istirahat, jam 4 sorenya langsung meluncur ke Surabaya. Hanya tidur di atas kursi kereta yang membikin kami nyaman.
Stasiun Semut – Surabaya. Pukul 22.34 wib
“Bro…bro…tangi, tangi, sudah sampai,” Huda membangunkan saya.
Kami berlima langsung mengambil tas masing-masing. Turun dari kereta. Keluar menuju jalan luar stasiun. Meski malam hari, suasana di sekitar stasiun itu masih terlihat ramai. Beberapa kendaaran terlihat lalu lalang menghiasai jalanan di malam berbintang itu. Tak ayal, taksi yang kemudian kami minta berhenti pun juga ikut meramaikan jalanan yang menghubungkan Surabaya – Madura itu.
“Ke Kedinding Lor, Pondok Al Fitrah ya, Pak,” bilang saya, ke sopir taksi.
“Kedinding Lor?” bapak sopir itu sedikit mengernyutkan dahi, “iya..ayo..masuk…” kata pak sopir itu sambil melambai-lambaikan tangannya kepada kami.
Pondok Pesantren Al Fitrah, Pukul 22.55 wib
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin… tiba juga akhirnya, kami, di pintu masuk pondok pesantren yang ingin kami tuju. Suasana di pesantren ini terlihat masih ramai. Puluhan santri berkopyah khas putih sedang mempersiapkan hajat besar untuk hari esok: Majlis Dzikir AL KHIDMAH, Sholat Tashbih dan Sholat Hajat Akbar.
Wajar, persiapan demi persiapan, seperti yang sering disebut-sebut oleh kakak saya, Najib Yuliantoro, pun pada malam itu terlihat sangat dimatangkan. Acara yang rencana akan di gelar di lapangan pesantren dan sepanjang gang menuju arah pesantren ini, pada malam keesokan harinya itu, adalah puncak dari seluruh rangkaian safari Jama’ah AL KHIDMAH selama bulan Ramadlan yang tersebar di seluruh tanah Jawa pada tahun ini. Tikar, air minum, pembatas jama’ah, sound system, lampu, konsumsi dan persiapan lainnya, telah dipersiapkan oleh para santri pada malam itu juga.
Kedatangan kami di pesantren ini memang tidak untuk membantu para santri, maka setibanya kami di pesantren, kami langsung istirahat. Jam 3 pagi buta kami harus bangun untuk sahur. Lalu, sambil menunggu adzan shubuh yang didahului oleh tarhim, kami sudah merencanakan untuk ziarah maqom ke Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA.
Ini memang pengalaman pertama saya ke pesantren dan ke maqom ini. Memang, saya sedikit terlambat mengetahui bahwa pendiri pondok ini, Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA adalah seorang ulama’ kharismatik besar. Ketika masuk ke maqom dan melihat maqom beliau, tidak tahu kenapa saya meneteskan air mata. “Subhaanallaah… Bagaimana hal ini bisa terjadi?”. Beliau adalah seorang ‘alim ‘allamah, secara total, mengabdikan diri ber-khidmah hanya untuk ummat, berjuang lillahi ta’ala. Beliau juga seorang mursyid dan murabbi, yang ketika masih muda ditunjuk langsung oleh mursyid thoriqoh sebelumnya, Hadlorotus Syaikh Utsman Al Ishaqy.
Dari Pesantren Al Fitrah menuju Maqom Sunan Ampel
Setelah sholat shubuh secara berjama’ah dengan para santri di pesanten ini, kami berencana bertolak untuk ziarah ke maqom Sunan Ampel. Tapi, ada yang mengganjal diantara kami. Belum pernah ada diantara kami yang tahu jalan menuju Sunan Ampel. Tanyalah kami akhirnya ke salah satu santri di pesantren itu.
“Oh, mangke jenengan naik Len (angkot.red) warna orange dari depan pondok itu,” katanya sambil menunjuk pintu masuk pesantren, “setelah itu, jenengan bilang saja sama sopirnya, mau ke Sunan Ampel. Nanti jenengan diturunkan di perempatan Nggirik-an. Terus nanti jenengan jalan saja ke arah selatan kurang lebih 100 meter. Pun dugi niku mangke.”
“Oh….mekaten njjeh. Matur nuwun njjeh, kang,” jawab saya setelah memberikan keterangan bahwa kami dari Jogjakarta.
Ada sedikit cerita ketika kami naik len. Waktu itu selama di dalam len, kami memang tidak banyak cakap, malahan, kami hanya mendengarkan saja percakapan-percakapan para penumpang yang sama-sama ada di dalam len itu. Mereka berbicara memakai logat Suroboyo-an. Seorang ibu-ibu, yang terus saja berucap di dalam len itu, bercerita tentang sifat manusia yang ia temui hari ini. Kebetulan, dari ceritanya, saya dapati ternyata baru saja ada kecelakaan kendaraan, antara orang jawa dengan orang Madura.
Pastinya saya kurang tahu persis kejadiannya seperti apa. Yang saya pahami, dari percakapan ibu-ibu itu dengan kawannya di dalam len, ia mengatakan, “kabeh wong iku podho… (semua orang itu sama)..” katanya dengan tetap memakai logat khas Suroboyo-an, “mung atine wae bedho. Ngga onok sing ngerti nek ati iku…(Cuma, hatinya saja yang membikin beda. Tak ada yang tahu tentang urusan hati itu)…” ibu itu masih meneruskan, “kecobo siji: Pengeran sing kuoso…(kecuali satu: Allah Yang Maha Kuasa)…” katanya sambil nunjuk arah atas.
Sementara itu, secara pribadi saya masih was-was. Dalam hati terus bertanya-tanya, “Perempatan nggririk-an sudah belum ya?”. Akhirnya, saya beranikan diri untuk bertanya pada ibu-ibu tadi yang, ketepatan duduk tidak jauh dari tempat saya duduk.
“Oh, badhe teng Nggirik-an ta, Nak? Badhe ziarah Ampel ta, Nak?” (Oh, mau ke Nggirik-an ya, Nak? Mau Ziarah ke Sunan Ampelkah, Nak?) katanya sambil melihat kepala kami masing-masing yang memakai kopyah khas putih. “Iya, bu’” jawab saya, senyum.
“Jik pisan iki a, ke Surabaya?” (baru kali ini ya, ke Surabaya?) tanyanya lagi. “Arek ngendi a, Nak, sampean?” (dari manakah, Nak, kamu?) “Iya, bu’. Saking Jogjakarta.” (Iya, bu’. Kami dari Jogjakarta) Jawab saya, singkat.
“Engko melok aku ae, Nak. Aku yo arep ke Nggirik-an. Wis, melok aku ae. Engko sampean melok aku. Turun nok perempatan. Mlaku ae, Nak, ke maqome. Cedak kok. Jo takon karo wong lanang yo, Nak. Nek takon-takon engko sampean karo wong wadok ae, ben ndak diarahno naik becak. Wong cedak kok.” (Nanti ikutin saya saja, Nak. Saya juga mau ke Nggirik-an. Sudah, ikut saya saja nanti. Nanti kalian ikut saya. Nanti kalau tanya-tanya, kalian tanya saja dengan wanita, jangan laki-laki, biar tidak diarahkan untuk naik becak. Soalnya cuma dekat, Nak, ke arah maqom Sunan Ampel itu). Ibu itu menjelaskan panjang lebar.
“Oh. Injjeh, bu,” jawab saya lagi.
Akhirnya, tibalah kami di perempatan Nggirik-an. Kami turun, mengikuti ibu itu yang lebih dekat dengan pintu len daripada kami. “Ayo, nak turun, Nak. Sampean melok aku.” Setelah turun, saya berniat mau membayar ke sopir Len tersebut, tapi sama ibu-ibu itu dilarang. Malah ibu’ itu bilang begini: “Wis, wis, nggak usah, Nak. Aku ae sing bayar. Wis, nggak opo. Enggo santri iki, wis aku ae, Nak, sing bayar.” (sudah, sudah, tidak usah, Nak. Saya saja yang membayar. Sudah tidak apa-apa. Demi santri ini, sudah biar saya saja yang membayar ongkosnya, Nak)
Subhaanallaah…dalam hati saya terbesit: Ibu ini luar biasa betul dengan orang berkopyah putih. Kami pun mendapat julukan santri seketika itu juga, padahal belum pantas bila gelar itu disematkan untuk kami. Dan….ongkos naik angkot kami,jadi beliau bayari gara-gara kami memakai kopyah putih khas pesantren Al Fitrah. Subhaanallaah….*Semoga Allah memudahkan setiap urusan ibu’. Memberikan kelancaran, keberkahan, dan ke-istiqomah-an untuk ‘ibaadallaah…lillaahi ta’aalaa…aamiin.
Kami pun langsung mengikuti arah-arah yang diberikan ibu’ tadi. Hingga sesampainya kami di maqom, kami langsung mengambil air wudlu, kemudian menuju maqom Sunan Ampel.
Yang namanya maqom Sunan Ampel, tidak pernah sepi. Meskipun pagi, siang, atau malam, di sekitar maqom ini selalu saja ramai oleh para peziarah. Demikian keterangan yang saya dapati dari para peziarah sebelumnya. Dan ternyata, hal itu benar. Suasana di sekitar maqom ramai oleh para peziarah.
Terkait Sunan Ampel sendiri, sudah banyak cerita yang mengkisahkannya. Yang jelas, di tanah jawa ini, awal mulanya ada ajaran agama Islam yang membawa ya beliau-beliau ini: para wali 9. Dan Sunan Ampel, adalah guru dari para wali-wali tersebut.
Setelah selesai berziarah, seperti biasa, kami sempatkan untuk sedikit belanja di sepanjang jalan menuju jalan keluar maqom. Ada banyak kios di sana: mulia dari penjual tasbih, minyak wangi, baju muslim-muslimah, kopyah, kerudung, foto para wali, ulama’ dan sejenisnya.
Pondok Pesantren Al Fitrah, Pukul 09.35 wib
Setelah sampai lagi di pesantren ini. Kami langung mencari teman-teman kami: Al Khidmah Kampus Surabaya, Malang dan Semarang. Rupanya, mereka sudah tiba. Ada yang dari ITS, IAIN Sunan Ampel, UNDIP, UIN Malang, Unibraw, dan kami dari kampus Jogja (UIN, UGM, UII).
Rapat persiapan Jambore AL KHIDMAH Nasional di mulia sekitar pukul 10.20 wib. Meski dihadiri oleh sedikit orang, namun para hadirin ini adalah para inisiator Jambore AL KHIDMAH kampus dari kampus-kampus yang ada di tanah Jawa ini. Beberapa kesimpulan terkait persiapan Jambore AL KHIDMAH Nasional ini adalah sebagai berikut:
Insya Allah akan dilaksanakan di bulan November, sekitar tanggal 25 s.d 27. Pesertanya sesuai dengan visi-misi AL KHIDMAH: siapa saja, dari semua golongan, putra dan putri, namun diutamakan para mahasiswa-mahasiswi dari berbagai kampus yang suka dengan kegiatan doa bersama: Berdzikir kepada Allah SWT, membaca Al Quran bersama, bersolawat bersama kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, membaca manaqib bersama lisultonul auliya’ Syekh Abdul Qodir Al Jailani r.a, dan berdo’a bersama-mendo'akan kedua orang tua, para leluhur, guru-guru, sampai arwahul muslimin wal muslimat al akhya’i minhum wal amwat, fi jami’ il jihad.
Sementara itu, jam di dinding masjid pesantren Al Fitrah menujuk pukul 15.15 wib. Saya dan beberapa teman AL KHIDMAH kampus, setelah sholat ashar di masjid, kembali lagi menuju tempat peristirahatan yang telah disediakan.
Ada pemandangan yang mengejutkan di hadapan saya. Ratusan jama’ah berpakain putih-putih berdatangan untuk acara nanti malam di pesantren ini. Dari kendaran-kendaraan yang parkir di sekitar pesantren itu, saya dapati ada yang dari Semarang, Tulungagung, Malang, Kediri, Jakarta, Jogjakarta, Bojonegoro, Lamongan dan masih banyak lagi.
Menjelang waktu berbuka, ratusan jama’ah sudah berjubel. Subhaanallaah…saya sampai bingin bagaimana bisa melukiskannya dengan tulisan-tulisan di sini. Yang jelas, mereka, para jama’ah berpakaian putih-putih itu, sudah pada menempati tempat-tempat yang telah disediakan panitia. Hebatnya, acara yang sebegitu besar, yang masih separonya dari acara Haul Hadhrotusy-Syaikh Al Murrabi Al Mursyid Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqi RA ini, tiada lain tiada bukan adalah para santri Pesantren Al Fitrah sendiri.
Lantunan gema sholawat tiada henti-hentinya terus dikumandangkan dari masjid Pondok Pesantren ini sambil menunggu waktu berbuka. Hingga sampai acara puncak, di malam harinya setelah sholat tarawih, bacan-bacan sholawat, tahlil, dan istiqhotsah kembali menggaung mengguncang langit di sekitar pesantren. Gema istighotsah dan tahlil akbar itu serasa mengguncang langit secara bertubi-tubi Kota Surabya di malam penuh rahmat itu. Menembus cakrawala. Langit dan bintang-bintang di malam itu menjadi saksi dari ratusan ribu manusia yang sedang berdzikir, berdoa bersama untuk umat Muhammad, untuk para orang tua, untuk para aulia’ dan juga para guru.
Subhaanallaah wal hamdulillaah walaa ilaaha illallaah Allaahu akbar…tidak sedikit suara isak tangis dari para jama’ah ikut melengkapi suasana di malam itu. Subhaanallah..Ya Rabb...terasa betul ribuan malaikat ikut turun mengamini. Ribuan malaikat pun ikut-mengikuti alunan dzikir yang dipimpin oleh seorang imam. Bertasbih, memuji keagungan Allah Subhaanahuwata’alaa.
Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Lembut dan Maha Penyantun.
Maha suci Allah, Tuhan pemelihara arsy
Maha suci Allah, Tuhan pemilik segala puji seluruh alam.
Ya Allah Ya Rabb, kepada-Mu kami memohon,
Ya Allah Ya Rabb, kepada-Mu kami menyembah dan meminta pertolongan
Ya Allah, Tuhan pemilik segala kekuasaan
Tak ada suatu kepentingan, melainkan Engkau beri jalan keluar
Ya Allah, Tuhan pegang segala hajat
Tak ada hajat yang mendapat kerelaan-Mu, melainkan Engkau kabulkan.
Subhanaalah, wal hamdulillah, walaailaa haillaallah Allahu akbar.
Lakalhamdu, walakas Syukru, Wa ilaika annabtu, Wa iyyaka na’budu wa iyyakanas ta’iinu…
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, salah seorang pecinta & penggerak Majlis Al Khidmah Kampus Ngayogyokarto Hadiningrat.
Post a Comment