Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Olahraga    Kuliner    Film   
Home » » Memaknai Puasa dalam Transformasi Sosial

Memaknai Puasa dalam Transformasi Sosial

Posted by CahNgroto.NET on Tuesday, August 9, 2011

Oleh : Ahmad Sidqi |
KabarIndonesia - Puasa adalah sebuah kegiatan keagamaan yang dilakukan pada setahun sekali, yang bertepatan pada bulan Ramadhan. Allah SWT berfirman;. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S Al Baqoroh [2]: 183). Puasa pada yang diwajibkan oleh Allah SWT semata-mata untuk menahan ‘hawa nafsu’. Hawa nafsu yang dimaksud adalah nafsu ammârah (nafsu jahat), nafsu lawwâmah (nafsu berbuat baik tapi masih berbuat maksiat). Hakikat puasa adalah untuk menghancurkan dua nafsu tersebut dan merubah kedua nafsu tersebut menjadi nafsu muthmainnah (nafsu kebaikan).
Puasa di bulan Ramadhan hanya sebagai stasiun awal bagi umat muslim yang diajarkan Rasulullah SAW dalam tatanan syariat Islam dan banyak pula puasa-puasa sunnah lainnya untuk menjadi stasioner membakar hawa nafsu ammârah, dan lawwâmah. Problematika kehidupan di negeri ini sudah terlihat banyaknya masyarakat yang terjebak pada nafsu nafsu ammârah dan lawwâmah. Tindakan korupsi, tindakan kejahatan oleh masyarakat, tindakan radikalisasi sudah setiap hari terlihat di layar kaca. Hal ini terjadi karena tidak memaknai puasa secara kaffah (keseluruhan).
Kedua nafsu keburukan yang dimiliki manusia ini akan membawa pada lingkungannya. Pentingnya mengontrol nafsu dalam tindakan penguasaan diri terlebih lagi pada kekuasaan secara luas. Karena apabila manusia secara pribadi tidak mampu mengontrol nafsu kejahatan, maka akan bertransformasi kepada tatanan sosial. Hal ini akan menjadi berbahaya dalam ruang lingkup sosial. Rasulullah SAW diutus menyempurnakan akhlak. Seperti yang difirmankan Allah SWT yang berbunyi: ” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah ” (Al Ahzab[13]: 21). Yang perlu digaris bawahi adalah kata ’suri tauladan’. Rasulullah mampu mengendalikan nafsu ammârah dan lawwâmah, dan kembali pada pada nafsu muthmainnah melalui jalan berpuasa. Bahkan Rasulullah melebihi nafsu muthmainnah, yakni nafsu mahabbah (cinta).
Puasa sebagai salah satu stasioner untuk pengendalian diri manusia, jika dimaknai dan dilaksanakan pada level kaffah (keseluruhan), makna yang sangat indah, bukan hanya pada manusia secara personal tetapi juga pada lingkup kemasyarakatan dan kenegaraan. Nilai lain yang terkandung dalam puasa adalah terlihat dalam lingkungan kita, seperti takjilan (buka puasa bersama), menjalankan sunnah-sunnah Rasululloh, bersilaturahmi, dll. Hal inilah yang membuat ’guyub’ antar manusia yang memiliki nilai ketuhanan dan kemanusiaan (Hablum minalloh wa hablum minan-nas). Seperti sebuah adegium yang sering kita dengar ” baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur ” (negara yang makmur dan Tuhan mengampun), indah bukan apabila kita memaknainya?

SHARE :
CNN Blogger

Post a Comment

 
Copyright © 2015 CahNgroto.NET. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger