Oleh : Ahmad Sidqi |
KabarIndonesia - Bulan suci Ramadhan yang sedang kita jalani adalah bulan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai spiritualistik yang kental. Di dalamnya terkandung nilai zahid atau zuhud (menghilangkan sifat keduniawian), nilai maghfiroh (ampunan dari tuhan) dan masih banyak nilai lainnya. Allah SWT berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS. Al Baqoroh [2]: 183). Dalam terminologi ayat diatas ada dua makna yang tersirat dari sebuah ritual yang bernama puasa. Yakni, Allah memerintah kepada umat muslim yang beriman untuk berpuasa untuk meningkatkan maqom-nya (derajat) menjadi umat muslim yang bertakwa. Proses terjadinya ketakwaan tidak lain melalui koridor Islamic law (hukum Islam).
Perlu diketahui bahwa dalam hukum Islam tersebut harus mampu memaknai esensi puasa. Puasa bukan sekedar menahan hawa nafsu ‘momentum’. Maksudnya adalah menahan hawa nafsu ketika di bulan Ramadhan saja, akan tetapi nilai-nilai puasa sebagai transformasi kebaikan dan peningkatan kualitas diri serta masyarakat yang dinamis. Karena tujuan puasa adalah menahan hawa nafsu, maka sebagai umat muslim harus mengetahui nafsu yang terlarang. Nafsu yang terlarang ini terbagi menjadi dua hal, yakni nafsu ammarah (nafsu keburukan) dan nafsu lawwamah (nafsu berbuat baik tapi masih berbuat maksiat). Adanya momen puasa sebagai tempaan untuk melawan dua nafsu tersebut dan mengganti kepada nafsu muthmainnah (nafsu kebaikan).
Melawan ‘Syahwat’ Korupsi
Korupsi adalah sebagian kecil dari nafsu lawwamah. Tindakan korupsi yang sudah merajalela bahkan membudaya di negeri ini dianggap hal yang biasa, padahal Allah SWT telah melarang hambanya untuk melakukan segala penimbunan harta yang tidak halal. Allah berfirman; “Telah membuat kalian lalai, upaya memperbanyak harta, sehingga kalian masuk liang kubur” (QS. At-Takasur [102]: 1-2). Tindakan penimbunan harta ini sudah dijelaskan sebagai nash yang mutlak diharamkan oleh Tuhan.
Tindakan korupsi yang sudah mengakar ini dalam tingkatan sosial yang rendah sampai pada tingkatan pemerintahan menyumbangkan kepincangan dalam nilai agama dan nilai sosial kemasyarakatan. Bangsa Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam, dan sebagian besar pula mengerti akan ajaran agama Islam, akan tetapi tidak bisa mengamalkan dari makna ajaran agama Islam. Dalam catatan tindak korupsi, pelaku korupsi di Indonesia memeluk agama Islam. Artinya, nilai spiritual dalam agama perlu dipertanyakan, apakah agama yang mereka peluk hanya sebagai legalitas kenegaraan?. Mengutip pesan dari Sayyidina Umar bin Khottob sang khulafaur- rosyidin ketika beliau menerima jabatan sebagai khalifah, beliau mengatakan; ” La islama illa bil jama’ah wala jama’ata illa bil imarah wala imarata illa bit tho’ah ” (Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan).
Pemimpin bangsa Indonesia juga harus tegas dalam menindak tegas, adil, dan jujur untuk memberantas korupsi, karena sudah merusak tatanan kemaslahatan ummat. Dimulai dari puasa, meresapi nilai puasa hingga menjadi orang-orang bertakwa sebagaimana sang pembawa risalah agama diutus ke dunia, Rasululloh SAW untuk menyempurnakan akhlak. Ketika akhlak terpuji manusia Indonesia sudah menjamur, penulis yakin bahwa perbuatan korupsi dan sifat-sifat keburukan manusia sejenisnya akan hilang, dan berganti menjadi sifat perdamaian yang penuh cinta kasih.
KabarIndonesia - Bulan suci Ramadhan yang sedang kita jalani adalah bulan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai spiritualistik yang kental. Di dalamnya terkandung nilai zahid atau zuhud (menghilangkan sifat keduniawian), nilai maghfiroh (ampunan dari tuhan) dan masih banyak nilai lainnya. Allah SWT berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS. Al Baqoroh [2]: 183). Dalam terminologi ayat diatas ada dua makna yang tersirat dari sebuah ritual yang bernama puasa. Yakni, Allah memerintah kepada umat muslim yang beriman untuk berpuasa untuk meningkatkan maqom-nya (derajat) menjadi umat muslim yang bertakwa. Proses terjadinya ketakwaan tidak lain melalui koridor Islamic law (hukum Islam).
Perlu diketahui bahwa dalam hukum Islam tersebut harus mampu memaknai esensi puasa. Puasa bukan sekedar menahan hawa nafsu ‘momentum’. Maksudnya adalah menahan hawa nafsu ketika di bulan Ramadhan saja, akan tetapi nilai-nilai puasa sebagai transformasi kebaikan dan peningkatan kualitas diri serta masyarakat yang dinamis. Karena tujuan puasa adalah menahan hawa nafsu, maka sebagai umat muslim harus mengetahui nafsu yang terlarang. Nafsu yang terlarang ini terbagi menjadi dua hal, yakni nafsu ammarah (nafsu keburukan) dan nafsu lawwamah (nafsu berbuat baik tapi masih berbuat maksiat). Adanya momen puasa sebagai tempaan untuk melawan dua nafsu tersebut dan mengganti kepada nafsu muthmainnah (nafsu kebaikan).
Melawan ‘Syahwat’ Korupsi
Korupsi adalah sebagian kecil dari nafsu lawwamah. Tindakan korupsi yang sudah merajalela bahkan membudaya di negeri ini dianggap hal yang biasa, padahal Allah SWT telah melarang hambanya untuk melakukan segala penimbunan harta yang tidak halal. Allah berfirman; “Telah membuat kalian lalai, upaya memperbanyak harta, sehingga kalian masuk liang kubur” (QS. At-Takasur [102]: 1-2). Tindakan penimbunan harta ini sudah dijelaskan sebagai nash yang mutlak diharamkan oleh Tuhan.
Tindakan korupsi yang sudah mengakar ini dalam tingkatan sosial yang rendah sampai pada tingkatan pemerintahan menyumbangkan kepincangan dalam nilai agama dan nilai sosial kemasyarakatan. Bangsa Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam, dan sebagian besar pula mengerti akan ajaran agama Islam, akan tetapi tidak bisa mengamalkan dari makna ajaran agama Islam. Dalam catatan tindak korupsi, pelaku korupsi di Indonesia memeluk agama Islam. Artinya, nilai spiritual dalam agama perlu dipertanyakan, apakah agama yang mereka peluk hanya sebagai legalitas kenegaraan?. Mengutip pesan dari Sayyidina Umar bin Khottob sang khulafaur- rosyidin ketika beliau menerima jabatan sebagai khalifah, beliau mengatakan; ” La islama illa bil jama’ah wala jama’ata illa bil imarah wala imarata illa bit tho’ah ” (Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan).
Pemimpin bangsa Indonesia juga harus tegas dalam menindak tegas, adil, dan jujur untuk memberantas korupsi, karena sudah merusak tatanan kemaslahatan ummat. Dimulai dari puasa, meresapi nilai puasa hingga menjadi orang-orang bertakwa sebagaimana sang pembawa risalah agama diutus ke dunia, Rasululloh SAW untuk menyempurnakan akhlak. Ketika akhlak terpuji manusia Indonesia sudah menjamur, penulis yakin bahwa perbuatan korupsi dan sifat-sifat keburukan manusia sejenisnya akan hilang, dan berganti menjadi sifat perdamaian yang penuh cinta kasih.
Post a Comment