Era 1980-an, Chico
Mendes berjuang melindungi kelestarian hutan Amazon dari pembalakan
liar yang dijalankan sebuah korporasi lokal dengan "pembiaran" aparat
pemerintah Brasil. Wilayah hutan Chacoeira adalah supermarket alami yang
menyediakan kebutuhan penduduk; dari papan, pakan hingga medis
tradisional. Para penduduk yang menjadi penyadap getah karet dan petani
miskin memanfaatkan kekayaan hayati rimba Amazon itu.
Mendes, pria berkumis itu, melawan pembalakan ini dengan aksi damai bersama ratusan pengikutnya, yang mayoritas para petani miskin. Ia tak gentar melawan keserakahan dan kekejaman tuan tanah dan peternak kaya, Darly Alves da Silva.
Puncaknya, Mendes dibunuh. Pelakunya siapa lagi jika bukan anak buah da Silva. Mendes pada akhirnya menjadi martir pelestarian hutan Amazon. Rimba Chazoeira dijadikan Taman Nasional Chacoeira yang diumumkan secara resmi oleh pemerintah Brasil.
Kisah perjuangan Mendes diabadikan melalui film "The Burning Season" yang menggambarkan silangsengkarut para petani miskin yang ditindas tengkulak, penjarahan hutan, aparat yang korup, dan kepedulian beberapa orang melakukan aksi perjuangan. "Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka kupikir aku sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan” demikian kalimat Chico Mendes yang paling masyhur.
Di Lumajang, ada Mendes dalam wujud lain, demikian pula wujud bajingannya. Salim "Kancil", pria berkumis itu, masih menikmati pagi bersama cucunya saat puluhan orang mendatanginya, menyeret dan menganiayanya. Ia diseret, lalu tubuh yang terhuyung itu didudukkan di kursi balai desa (!), kemudian kumpulan pembunuh bayaran itu ramai-ramai memukulinya, menyetrumnya dan menggergaji lehernya. Eksekusi dijalankan di depan pemakaman umum milik desa. Salim gugur. Ia tak seberuntung Tosan, sahabatnya, yang meski sudah dianiaya oleh gerombolan bersenjata, namun nyawanya masih selamat. Siapa otak pembunuhan dan penganiayaan ini? Katanya, seorang elit politik lokal yang mendapatkan keuntungan dari jasa tambang pasir di wilayahnya.
Salim "Kancil" menjadi martir bukan hanya atas nama dirinya, melainkan atas nama masyarakat yang menolak tambang pasir di desanya, atas nama kelestarian alam juga. Desa Selok Awar Awar, Pasirian, Lumajang, memang bukan Amazon yang diperjuangkan Mendes, tapi di sana ada luka menganga masyarakat yang dirugikan atas penambangan liar yang nyaris tak terkendali.
Soal tambang, hutan, dan lokasi kekayaan alam, apapun jenisnya, di negeri ini lebih banyak mudarat dibanding maslahatnya.
Sugeng tindak, Pak Salim Kancil....semoga pengorbanan nyawa panjenengan membawa dampak kemaslahatan bagi masyarakat dan menyentil nurani pihak-pihak yang punya kewenangan di sini, di negara yang masih segan dan malu-malu memperjuangkan "tanah" dan "air" sebagai wujud kedaulatan tanah airnya sendiri.
WAllahu A'lam
*Rijal Mumazziq Z
Mendes, pria berkumis itu, melawan pembalakan ini dengan aksi damai bersama ratusan pengikutnya, yang mayoritas para petani miskin. Ia tak gentar melawan keserakahan dan kekejaman tuan tanah dan peternak kaya, Darly Alves da Silva.
Puncaknya, Mendes dibunuh. Pelakunya siapa lagi jika bukan anak buah da Silva. Mendes pada akhirnya menjadi martir pelestarian hutan Amazon. Rimba Chazoeira dijadikan Taman Nasional Chacoeira yang diumumkan secara resmi oleh pemerintah Brasil.
Kisah perjuangan Mendes diabadikan melalui film "The Burning Season" yang menggambarkan silangsengkarut para petani miskin yang ditindas tengkulak, penjarahan hutan, aparat yang korup, dan kepedulian beberapa orang melakukan aksi perjuangan. "Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka kupikir aku sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan” demikian kalimat Chico Mendes yang paling masyhur.
Di Lumajang, ada Mendes dalam wujud lain, demikian pula wujud bajingannya. Salim "Kancil", pria berkumis itu, masih menikmati pagi bersama cucunya saat puluhan orang mendatanginya, menyeret dan menganiayanya. Ia diseret, lalu tubuh yang terhuyung itu didudukkan di kursi balai desa (!), kemudian kumpulan pembunuh bayaran itu ramai-ramai memukulinya, menyetrumnya dan menggergaji lehernya. Eksekusi dijalankan di depan pemakaman umum milik desa. Salim gugur. Ia tak seberuntung Tosan, sahabatnya, yang meski sudah dianiaya oleh gerombolan bersenjata, namun nyawanya masih selamat. Siapa otak pembunuhan dan penganiayaan ini? Katanya, seorang elit politik lokal yang mendapatkan keuntungan dari jasa tambang pasir di wilayahnya.
Salim "Kancil" menjadi martir bukan hanya atas nama dirinya, melainkan atas nama masyarakat yang menolak tambang pasir di desanya, atas nama kelestarian alam juga. Desa Selok Awar Awar, Pasirian, Lumajang, memang bukan Amazon yang diperjuangkan Mendes, tapi di sana ada luka menganga masyarakat yang dirugikan atas penambangan liar yang nyaris tak terkendali.
Soal tambang, hutan, dan lokasi kekayaan alam, apapun jenisnya, di negeri ini lebih banyak mudarat dibanding maslahatnya.
Sugeng tindak, Pak Salim Kancil....semoga pengorbanan nyawa panjenengan membawa dampak kemaslahatan bagi masyarakat dan menyentil nurani pihak-pihak yang punya kewenangan di sini, di negara yang masih segan dan malu-malu memperjuangkan "tanah" dan "air" sebagai wujud kedaulatan tanah airnya sendiri.
WAllahu A'lam
*Rijal Mumazziq Z
Post a Comment